HARAPANKU*



"Besok mau lanjut kemana,Dee?"
            "Dee, jadinya kamu daftar dimana?"
            "Dee udah daftar SNMPTN? Ambil di mana?"
Beribu kali aku mendengar pertanyaan-pertanyaan retoris itu. Ya, pertanyaan yang sama sekali belum ku ketahui jawaban nya. Aku sendiri masih bingung untuk menentukan pendidikan lanjutku yang nanti akan aku ambil. Padahal sekarang aku sudah kelas 3 SMA dan hampir mau Ujian Nasional. Kalau beberapa tahun yang lalu aku masih berandai-andai memikirkan universitas mana yang akan aku masuki, namun sekarang rasanya sudah bukan waktunya lagi. Universitas yang nanti akan aku masuki nanti adalah cerminan masa depan yang akan aku jalani. Sungguh, ini adalah masalah serius, dan bukan main-main lagi.
            Sebenarnya, aku sudah banyak menuliskan nama-nama universitas yang aku minati. Aku menulisnya berurutan rapi berdasarkan tingkat prestasi dan passing grade dari masing-masing jurusan setiap universitas di buku catatan ku. Tentu tidak semua nama universitas yang aku tulis ini akan aku masuki semua. Pastinya aku sudah melakukan semacam eliminasi untuk beberapa universitas yang tidak aku minati, hingga akhirnya hanya terdapat 2 atau 3 universitas yang tersisa. Nama-nama itulah yang saat ini memberiku kegalauan dalam menentukan pilihan ku. Juga untuk mencari jawaban atas pertanyaan retoris tadi. Mau kemana aku nanti?
            Aku sudah terlalu banyak memikirkan masalah ini,namun pencarian jalan keluarku tentang masalah tersebut masih tetap terasa jauh. Aku belum bisa menentukan hal ini sendiri. Ini tidak mudah untuk aku hadapi. Ada banyak hal yang memang menjadi pertimbanganku dalam memilih keputusan ini secara tepat. Dan hal-hal itu, pada akhirnya berujung membentuk sebuah pertanyaan baru : Bagaimanakah keputusan yang seharusnya aku ambil?
            Bagiku, ini bukanlah sebuah teka teki yang mudah ku tebak. Ini adalah sebuah keputusan yang sekali pilih untuk seumur hidupku. Ada satu universitas yang prestasi akademiknya memang ku kagumi, dan aku merasa sreg bila menjadi bagian dari universitas itu. Namun aku menemui sebuah kejanggalan bahwa universitas itu terlalu bagus untuk ku masuki. Bisa di bilang, itu adalah universitas ternama di Yogyakarta, yang selalu menjadi impian dan tujuan para siswa ke pendidikan perguruan tinggi. Tentu saja hal tersebut sebanding dengan peminatnya yang luar biasa berlimpah. Lain dengan hal itu, aku juga berminat pada sebuah universitas negeri yang mendominasi di bidang pendidikan, universitas yang selalu melahirkan ratusan guru dengan berbagai prestasinya yang tak kalah gemilang. Memang seharusnya semua itu tidak menjadi masalah, karena bagiku yang terpenting adalah ilmu yang nantinya akan aku dapatkan. Tapi pemikiran itu tetap saja tidak bisa menghapus kebimbanganku tentang masalah tersebut. Yang aku takuti sejak awal adalah penyesalan, dan aku tak mau itu sampai terjadi.
            Aku memang takut pada penyesalan. Penyesalan bila nanti aku salah dalam memilih keputusan. Jika semisal aku memilih universitas ini, siapa yang akan menyesal di antara aku atau kedua orang tuaku adalah masalah besar bagiku. Bagaimanapun juga, ayah dan ibu turut andil dalam penentuan masa depan ku ini. Sungguh ini bukan masalah sembarangan. Dan ini adalah masalahku yang sesungguhnya. Masalah terbesar dalam sejarah kehidupanku. Bagaimana aku bisa maju kalau langkahku ini selalu dibayangi rasa takut pada penyesalan seperti yang saat ini aku hadapi, sementara waktu semakin menuntut ku untuk terfokus pada pilihan masa depan. Sebenarnya, aku sadar sepenuhnya tentang hal itu. Aku bahkan sudah tahu bagaimana harus mengatasinya. Sudah banyak orang yang telah memberiku solusi untuk harus berfikir positif, selalu optimis, pantang menyerah dan berani mencoba. Namun, tetap sama saja. Aku sudah berusaha untuk melakukan hal itu dan tak ada satupun yang memberikan banyak hasil. Aku tetap takut pada penyesalan. Aku tak ingin bernasib buruk hanya karena nanti salah dalam memilih.


Kegalauan yang aku rasakan ini semakin saja bertambah kronis. Stadium akut alias sudah di akhir harapan. Jalur undangan SNMPTN yang aku pikirkan saat ini memang merupakan pantangan terbesar bagiku. Bukan bermaksud sombong dengan peringkatku yang termasuk tinggi di sekolah, tetapi memang begitulah kenyataannya. Dan aku semakin bingung untuk membawa kemana nilai ku ini. Masalah kelulusan memang sudah pasti ditentukan dengan nilai UN, dan aku sudah yakin pasti bisa lulus dengan bantuan nilai UAS sebanyak 40%. Tapi kecocokan dengan sekolah lanjutan lah yang nanti akan menentukannya.
            Aku sudah beberapa kali curhat dengan beberapa temanku tentang masalah ini. Tetapi,hampir semua tanggapan mereka kurang lebih sama.

"Kemana pun kamu memilih universitas, itu sama saja. Tinggal bagaimana kamu nanti mensikapinya. Kalau kamu memang sreg dengan universitas itu,ya sudah, di ambil saja,gampang kan?  Masalah keterima atau enggak nya,itu biar jadi rahasia Tuhan. Setidaknya kamu sudah berusaha untuk mendapatkan itu. Kalaupun memang ga keterima, kan masih ada Ujian Tulis SNMPTN? Kesempatan masih ada, " sahut winda bersemangat saat memberi masukkan padaku. Aku yang masih ragu dengan pernyataan Winda, kembali berkonsultasi pada Budi. Kutemui dia dan ku ceritakan masalah yang sama ini padanya. Aku yakin Budi bisa memberikan tanggapan yang bisa ku ambil sebagai jalan keluar tentang masalah ini. Budi adalah orang yang cukup sabar untuk mendengarkan segala keluh kesahku.
            "Dee, kamu tahu cocok enggak nya itu setelah kamu mencoba nya sendiri. Yakinkan dengan pilihan yang kamu pilih, karena sesungguhnya hanya kamu sendiri yang dapat menentukan keputusan itu." tutur Budi menasehatiku.
            Aku masih berfikir dua kali untuk mengambil keputusan yang tepat. Bagaimana pun juga, passing grade yang di miliki setiap jurusan sangat berpengaruh dengan nilai yang aku miliki. Meskipun nilai ku tinggi di sekolah, belum tentu nilai ku itu bisa memenuhi persyarataan penyesuaian nilai yang di maksudkan di universitas nanti.
            Namun, paling tidak aku terbantu dengan masukan-masukan yang ia berikan untuk ku. Dan itu yang sedang aku usahakan sekarang, setelah aku memahami apa yang dikatakan oleh Budi, Winda dan kak Syahland. Aku harus yakin dan memantapkan hati pada satu pilihan universitas, seperti apa yang di sampaikan bu Zubaidah, guru BK di sekolah ku, kemarin
            "Sebenarnya nilai yang kamu miliki itu dapat di gunakan untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri manapun dalam SNMPTN Jalur Undangan ini. Tentu saja hal itu karena di dukung dengan prestasi bagus yang kamu dapatkan di kelas. Namun, untuk penentuan universitas yang nanti akan kamu masuki, lebih baik di pikirkan secara matang dan mendalam. Jangan sampai, kesempatan baik ini membuat kamu salah memilih. Sesuaikan lah dengan kemampuan dan keinginan yang kamu cita-citakan selama ini," tutur bu Zubaidah memberi masukan.
Hari itu juga aku kembali merenungkan masalah kLasik ini, dan lagi-lagi aku merasa galau sendiri. Aku sampai terheran pada diriku ini yang terlalu banyak memikirkan sesuatu untuk memutuskan suatu hal. Padahal biasanya aku selalu memperhitungkan segalanya dengan rinci dan teliti.
Apa yang tidak sesuai dengan keinginan, selalu kupahami lagi agar aku tahu dimana letak kesalahanku dan mengambil hikmah dari kesalahan itu. Tetapi untuk masalah ini, terlihat begitu ribet dalam pikiranku. Berkecamuk dan berbaur menjadi satu.Namun, di sisi lain aku tetap berusaha untuk merenungkan apa yang telah dikatakan oleh teman-teman. Jangan takut memilih, dan jangan takut menyesal.
            Kini, aku semakin merasakan perubahan atas keyakinan ku itu. Hingga pada suatu hari, aku memberanikan diri untuk bertanya pada ibuku yang saat itu sedang bersantai di ruang tengah.
            "Bu, bolehkah Dee konsultasi tentang suatu hal pada ibu?" ucapku pelan. Ibu menatap ku dalam. Dengan penasaran,beliau tersenyum menjawab.
            "Konsultasi tentang apa,nak?"
            "Dee bingung bu mau kuliah dimana," aku tertunduk.
            "Loh, kenapa harus bingung? Bukankah seharusnya kamu tahu mana yang menjadi pilihan kamu?" Aku tersenyum kecil dan menggeleng.
            "Dee bingung bu. Ada 2 universitas yang harus Dee pilih, dan kedua-duanya bagus semua," kataku polos.
            "Itu adalah sebuah pilihan, Dee. Coba Dee prioritaskan salah satu di antara keduanya. Kamu pilih mana yang benar-benar kamu sukai dan sesuai dengan kemampuan kamu. Hal itu perlu jadi pertimbangkan kamu untuk dapat memilih salah satu nya. Dan kamu harus benar-benar yakin dengan pilihan kamu itu,"
            "Tapi kalau ternyata pilihan Dee tidak sesuai dengan keinginan ayah dan ibu bagaimana? Ayah dan ibu pasti menyesal, dan Dee takut itu. Dee takut salah pilih bu. Takut nanti salah jurusan,"
"Dee, perlu kamu tahu, enggak ada istilah salah pilih di dunia ini. Sederhana saja, asal kamu mau mensyukuri apa yang kamu pilih nanti, kamu nggak akan menyesal. Maka nya ibu sarankan, dalam pemilihan kamu nanti, kamu harus benar-benar yakin bahwa apa yang kamu pilih, memang sudah sesuai dengan kemampuan yang kamu miliki," ujar ibu meyakinkanku. Aku terdiam sejenak, berfikir dan meresapi kata-kata ibu.
            "Ibarat membeli baju baru. Ketika di toko, kamu melihat itu bagus dan cocok dengan selera mu. Tetapi, begitu di rumah, kamu sadar kalau itu tidak sesuai dengan ukuran badan kamu. Mau dikembalikan, tidak bisa, di buang juga sayang. Dari pada di sia-siakan atau membeli baru lagi, mungkin bisa kamu inovasi dengan kreatifitas kamu. Kalau besar bisa kamu kecil kan, kalau kecil bisa kamu perbesar dengan tambahan kain yang sesuai. Setidaknya kan masih tetap bisa kamu pakai. Dengan inovasi tersebut, dalam hal ini, kamu sudah termasuk mensyukuri apa yang kamu dapatkan, Dee. Tidak semua hal di dunia ini berjalan sesuai dengan yang kita inginkan. Selama kita tetap bersyukur, hidup kita juga nggak akan susah. Dan yang terpenting, nggak akan ada hal yang akan kita sesali nanti nya. Percayalah,Dee," lanjut ibu menuturkan pendapatnya.
            Aku kembali terdiam. Berusaha merenungkan apa yang ibu sampaikan padaku. Kupikir,benar juga apa yang dikatakan ibu, juga teman-teman. Salah pilih atau tidak,asal berpacu pada keyakinan, mungkin semua akan baik-baik saja. Bersyukur adalah satu hal penting yang tidak terpikirkan olehku sebelumnya.
Mungkin, apa yang ku sesali nanti tidak akan setotal yang aku takutkan selama ini, namun bukan berarti aku bisa menyesali segalanya. Bukan berarti aku harus menyesali pilihanku itu. Bukan jadi, pilihan ku ini tidak akan mengecewakan ayah dan ibu nanti. Ah... kenapa aku tidak memikirkan hal ini sejak dulu? Seharusnya aku sadar akan pertimbanganku yang terlalu lama ini.
            Kini, aku mulai merasa yakin akan pilihan ku nanti. Cocok tidak nya tergantung pada diriku sendiri. Keterima enggaknya, biar menjadi rahasia Tuhan. Aku tak perlu galau untuk menentukan hal ini. Yah, mungkin ini adalah jalan terbaik yang aku pilih. Semoga di UNY Jurusan Pendidikan Matematika yang aku pilih ini, benar-benar menjadi prioritas utamaku untuk dapat lolos dan memberikan yang terbaik untuk ayah dan ibu nanti.

*Cerpen terbaik dalam Kompetisi Menulis Cerpen dalam rangka Musywil PW IPM DIY 2012

Oleh : Dewi Apriani