Imogiri...  sebuah nama yang ketika mendengarnya, kita seakan terbius terbawa  kepada keadaan dan suasana jauh di masa silam. Ya, benar. Imogiri adalah  sebuah kawasan kota tua yang berakar dari kerajaan Mataram Islam. Kesan  tua namun kokoh, uzur tapi unik, melekat kuat pada kota itu hingga saat  ini. Pada kesan tua dan unik itulah tersimpan sejuta pesona Imogiri.
Kawasan  yang terletak 17 km di sebelah selatan kota Yogyakarta atau 12 km ke  arah Timur dari kota Bantul ini, juga terkena imbas peristiwa bencana  gempa Yogya dua tahun silam. Imogiri sempat terpuruk akibat gempa 26  Juli 2006 itu. Banyak kerusakan fisik yang diderita kota tua ini. Meski  demikian, pesona Imogiri tetap berkilau. Apalagi setelah berbenah, siap  menyongsong tamu-tamu yang ingin merasakan degup nafas kehidupan masa  lalu, bernostalgia ataupun sejenak melepaskan penat. Apa saja yang bisa  dinikmati di sana?
Awal Mula Imogiri
Dahulunya  kota Imogiri adalah tempat bermukim para pekerja dan pengawas  pembangunan makam Imogiri pada masa pemerintahan Sultan Agung pada abad  XVII.
Di  permukiman tersebut tumbuhlah pasar sebagai tempat berlangsungnya  kegiatan ekonomi. Permukiman ini tumbuh seiring dengan perkembangan  Makam Imogiri dan sejarah yang mewarnainya.
Ketika  Mataram Islam pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan  Surakarta, Kota Imogiri juga menjadi dua sehingga ada wilayah enclave  Surakarta yang berada di dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun,  kota kecamatannya tetap satu. Sekarang ini, kecamatan Imogiri sudah  sepenuhnya masuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta  karena menjadi salah satu dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten  Bantul.
Di  kecamatan Imogiri, terdapat beberapa peninggalan masa lalu seperti:  lumpang batu di dalam pasar Imogiri (masih terpelihara baik), Rumah  Bupati (Dalem Bupati Puroloyo) Surakarta dan Yogyakarta (rumah  berarsitektur Jawa, kediaman pimpinan Abdi Dalem makam baik dari pihak  Surakarta maupun Yogyakarta), dan tak dapat dilupakan; pasar tradisional  Imogiri. Saat ini pasar mengalami kerusakan akibat gempa namun masih  dapat ditempati. Di dalamnya terdapat lumpang batu peninggalan jaman  Sultan Agung.
Kendati  kota Imogiri ini merupakan ibukota kecamatan, namun geliat kehidupan di  pasar tradisional ini berlangsung 24 jam penuh. Pada malam hari banyak  pengunjung pasar datang dari berbagai komunitas dengan tujuan yang  bermacam-macam. Ada peziarah makam, komunitas pemancing, pecinta alam,  seniman dan sebagainya, datang untuk sekedar kongkow atau melepas penat  sambil menikmati wedang poci serta makanan khas Jogja seperti baceman  tempe, tahu, sate dan goreng-gorengan serta yang menjadi ”lagu wajib”  komunitas lek-lekan (begadang).
Yang  istimewa, di pasar Imogiri ada Sego kucing (Nasi Kucing). Nasi ini  seukuran satu kepalan tangan dewasa dengan lauk sambal teri atau  oseng-oseng tempe sekedarnya, sehingga pas untuk jatah kucing. Lauknya  bisa ditambah sendiri dengan aneka baceman yang tersedia. Tak  ketinggalan menu kuliner lain seperti bakmi Jawa, menjadi pilihan yang  patut dilirik.
Di  sebelah timur kantor Kecamatan atau berseberangan jalan dengan pasar  tradisional Imogiri, terdapat Museum Batik Cipto Wening, yang dikelola  oleh Ibu Suliantoro Suleman, seorang tokoh pemerhati budaya Jawa serta  tokoh yang sangat peduli terhadap kerajinan. Ibu Suliantoro Suleman ini,  sebelumnya telah berhasil membimbing pengrajin Kasongan bersama dengan  seniman Sapto Hoedojo. Di museum yang dibuka setiap hari ini, pengunjung  bisa mengamati koleksi batik yang berusia ratusan tahun hingga batik  kontemporer.
Makam Raja-raja Itu…
Selanjutnya,  apa lagi yang mau diexplore dari kota tua ini? Sejenak kita menengok ke  masa lalu mengunjungi makam raja-raja Dinasti Mataram (Islam) di bukit  Merak Imogiri, tepatnya di Pajimatan. Sebenarnya, peninggalan makam  tertua Imogiri itu adalah Kompleks Makam Giriloyo. Makam tersebut  terletak di daerah perbukitan dusun Cengkehan, desa Wukirsari. Makam ini  dibangun tahun 1629/1630 atas perintah Sultan Agung untuk bakal tempat  makamnya serta keturunannya. Namun alhasil, makam yang dibangun  Panembahan Juminah (paman Sultan Agung) itu kemudian dipakai untuk  Panembahan Juminah sendiri karena beliau meninggal dalam melaksanakan  tugas membangun pemakaman ini. Akhirnya, makam tersebut selanjutnya  dipakai untuk memakamkan kerabat Penembahan Juminah, yang jumlahnya 71  makam, sedangkan untuk Makam raja-raja dicari lokasi lain. Di Kompleks  Makam Giriloyo ini dimakamkan pula Kanjeng Sultan Cirebon, murid  kesayangan Sunan Kalijaga.
Wedang Uwuh dan Pecel Turi
Selain  peziarah, wisatawan yang datang di kompleks makam ini teridentifikasi  berdasarkan kepentingannya, seperti pecinta olahraga, pecinta alam atau  pecinta kuliner tradisional. Di sekitar anak tangga menuju makam  terdapat pedagang kecil yang menjajakan makanan khas produksi Imogiri  seperti gula Jawa, criping, peyek, pedagang suvenir dari kulit dan  batik. Warung-warung di pelataran parkir menyediakan kuliner khas  Imogiri seperti pecel kembang turi dengan peyek dan minuman khas Imogiri  yaitu Wedang Uwuh (bhs Jawa: wedang sampah). Sampah di sini bukan dalam  arti yang sebenarnya karena sampah di sini merujuk pada dedaunan kering  yang dipakai sebagai ramuan wedang tersebut yang dicampur dengan jahe,  gula batu dan secang. Yang jelas, rasanya menyegarkan badan tidak  seperti minuman berkarbonasi yang diminum orang modern sekarang.
    Uniknya,  Wedang Uwuh ini lebih nikmat bila dinikmati di Imogiri (on site).  Mungkin karena atmosfir masa lalu inilah yang membuat kita sejenak  merasa nyaman dan rileks sambil membayangkan masa ketika Sultan Agung  membuka daerah ini. Sebagai pelengkap wedang uwuh, kuliner yang  disajikan juga ditanggung menyehatkan, karena pecel (seperti lazimnya di  mana-mana tempat) yang disajikan terbuat dari sayur-sayuran yang jelas  tanpa pengawet. Yang istimewa, pecel Imogiri ini amat spesial dengan  tambahan bunga pohon turi yang saat ini sudah langka dijumpai. Rasanya  sedikit pahit, ditambah bumbu kacang pedas, ditanggung menggugah selera.  






 
 
 

 
 
 
