“jika diibaratkan, Muhammadiyah itu seperti gajah bengkak. Besar secara badan tapi lambat dalam gerakannya.. .”
Tak disangka organisasi yang dulunya sebuah perkumpulan pengajian kini telah menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial yang sangat kuat. Tak salah lagi, Muhammadiyah sebagai buah karya dan buah pikir KH. Ahmad Dahlan demi membentuk suatu tatanan ‘khaira ummatin’ ‘secara kuantitas telah berhasil menempatkan dirinya sebagai gerakan sosial keagamaan maupun amal sosial yang terbesar di negeri ini bahkan dunia.
Keberhasilan tersebut tentu saja tidak serta merta datang begitu saja. Muhammadiyah telah mengalami berbagai fase dalam lika-liku perjalanannya. Dimulai ketika zaman kolonial penjajahan berlangsung, masa kemerdekaan, revolusi, hingga masa reformasi saat ini, dan Muhammadiyah masih tegak berdiri.
Kini Muhammadiyah telah memiliki ribuan amal usaha yang tersebar di seluruh nusantara. Baik itu sekolah, panti asuhan, rumah sakit maupun amal usaha yang lain. Memang sangat besar jika kita melihat kelembagaan ini dari sudut pandang orang awam. Akan tetapi jika kita tengok lebih dalam lagi, kita akan melihat betapa keroposnya tubuh organisasi ini. Bahkan seorang tokoh nasional yang saya lupa namanya pernah berkata bahwa Muhammadiyah itu seperti gajah bengkak yang besar secara kuantitas dan karena begitu besarnya membuat langkah dan geraknya menjadi lamban. Adakah yang salah?
Jika kita cermati memang tidak salah pernyataan tersebut dilontarkan. Betapa tidak, kini kita lihat masjid-masjid binaan muhammadiyah banyak berdiri, sekolah dibangun, rumah sakit didirikan. Tapi yang jadi masalah adalah apa iya hanya selesai sebatas pada pembangunan fisik semata? Bagaimana pengelolaan amal usaha tersebut dilakukan? Sesuaikah dengan misi yang diemban oleh persyarikatan ini?
Sebuah amal usaha akan berkembang dengan baik sesuai dengan misi yang diemban organisasi apabila dikelola oleh orang yang ahli di bidangnya. Ahli dalam memanage juga ahli dalam bermuhammadiyah. Kita tidak bisa mengabaikan salah satunya karena apabila orang yang mengatur amal usaha merupakan orang yang ahli dalam bidangnya tapi tidak memiliki spirit bermuhammadiyah, akan dibawa kemana arah geraknya? pun begitu juga sebaliknya. Tapi adakah orang tersebut?
Masalah krisis kader memang telah menjadi masalah klasik yang berkembang selama ini. Baik dari pusat hingga ke ranting tak pernah luput menyorot permasalahan tersebut. Karena baik buruknya sebuah organisasi pada masa yang akan datang dapat dilihat dari baik buruknya pendidikan kader yang ada saat ini.
Memang kekurangan sumber daya manusia yang dialami persyarikatan ini bisa dibilang sangat memprihatinkan. Dengan dalih profesionalitas, seringkali seenaknya saja merekrut orang dengan ideologi dan kepentingan yang jauh menyimpang dari tujuan Muhammadiyah. Alih-alih merealisasikan visi tersebut, tujuan muhammadiyah akan semakin kabur jika dipegang oleh orang yang tidak mengerti tentang muhammadiyah. Dimanakah kader kita? Bagaimana proses kaderisasi kita?
Seharusnya muhammadiyah tidak boleh lengah sedikitpun untuk tidak memikirkan di setiap lini dan barisannya. Karena kaderisasi itu merupakan proses yang berkesinambungan, tidak bisa hanya sekali jadi. Perlu dipikirkan lagi cara-cara yang tepat dalam prosesnya.
Setidaknya ada 4 pilar sarana kaderisasi yang saat ini bisa kita optimalkan. Yaitu keluarga, ortom, AUM, dan persyarikatan sendiri tentunya. Lewat keluarga dapat dilakukan kaderisasi bertingkat yaitu mengajak anggota keluarga untuk aktif serta kontributif dalam bermuhammadiyah. Lewat ortom, kader-kader muhammadiyah dapat disemai dengan berbagai macam pelatihan berorganisasi dan tentu saja penanaman asas ideologi bermuhammadiyah harus tetap dilaksanakan. Lewat ortom pula diharapkan dapat dicetak kader-kader muhammadiyah yang militan. Amal usaha pun seharusnya diarahkan sebagai sarana pengkaderan muhammadiyah. Karena seringkali amal usaha hanya dijadikan sebagai sarana mencari materi. Memang tidak salah, akan tetapi lebih bijak lagi apabila amal usaha dijadikan sebagai sarana mencari ridho Ilahi.
Ingat muhammadiyah saat ini masih tegak berdiri karena soliditas gerakan melalui sistem organisasi yang didukung oleh para penggeraknya dari berbagai lintas generasi. Bukan hanya karena mengedepankan figur atau personalitas ketokohan seseorang saja. Oleh karena itu dibutuhkan kekompakan serta kesolidan baik itu dari antar tingkat pimpinan maupun antar pimpinan dengan angkatan mudanya.
Untuk bapak maupun ibu pimpinan muhammadiyah dan aisyiyah diharapkan dapat membimbing serta mengarahkan generasi muda. Begitu juga kewajiban bagi generasi muda untuk sadar akan kewajiban yang telah ada di pundaknya. Karena muhammadiyah kini sedang mengalami kelesuan dan perlu diberi suntikan kekuatan dari luar. Muhammadiyah menantikan pemikiran yang segar untuk mengembalikan semangatnya.
“dan hendaklah kamu takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah.. .” (Q.S An-Nisaa’:9) mari kita lebih peduli terhadap kelangsungan organisasi, mari kita peduli tentang masalah kaderisasi. Kita ajak kerabat saudara dan anggota keluarga kita untuk aktif dan memberikan kontribusi terhadap gerakan muhammadiyah. Dan saatnya kita rapatkan barisan! Mengembalikan semangat beramar ma’ruf nahi munkar demi terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya.
(Khairul Arifin)