|  | 
Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir
 di Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. 
Ayahnya, K.H. Muhammad Fakih (salah satu Pengurus Muhammadiyah pada 
tahun 1912 sebagai Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti 
Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari 
garis ayah, maka Ahmad Badawi memiliki garis keturunan dengan Panembahan
 Senopati.
Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanamkan nilai-nilai agama. 
Hal ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. 
Diantara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang 
berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh 
sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak 
masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat 
kelompok belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya 
sendiri. Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab 
Karanganyar, untuk belajar tentang nahwu dan sharaf. Pada 
tahun 1913-1915 ia belajar kepada K.H. Dimyati di Pondok Pesantren 
Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar
 berbahasa Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. 
Pada tahun 1915-1920 Ahmad Badawi mondok di Pesantren Besuk, Wangkal 
Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan
 Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921. Pendidikan 
formalnya hanya didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh 
K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, yang belakangan berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi SD Muhammadiyah.
Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih
 remaja membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan 
aktivitas organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang 
anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara, dengan tujuan untuk 
bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda, dengan berbagai variasi 
sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah 
dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada 
Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini 
dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras 
dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas 
dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada 
tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang 
sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf 
Anis, t.t., p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil 
(APS). Ia turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan 
Kecabean Kulon Progo. Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS 
bersama dengan K.H. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam 
II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota Laskar 
Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta 
bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis 
Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, 
karena partai ini kemudian membubarkan diri.
Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan 
potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui 
kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan dakwah 
lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang 
tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis 
Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun 
berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah 
Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 
1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan 
potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang 
handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan 
Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi 
Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi 
terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, 
dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi 
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.
Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang 
sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi 
anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target 
penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja 
dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, 
anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan 
dengan adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya 
dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah 
sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem 
politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil 
kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan 
kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah 
hanya mampu mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang
 mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan 
Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi 
Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa 
kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah 
di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi 
Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi 
antek Soekarno, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia 
memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan 
kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh 
Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh 
karenanya, bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan 
secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya 
pun diminta turut memperhatikan fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan 
terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya 
mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu 
senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran
 Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk balance of power policy (PP.
 Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan 
bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muhammadiyah untuk 
mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot 
dipandang dari kacamata Islam. Secara relatif KHA. Badawi bisa 
mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh 
pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada Soekarno 
disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana
 ada kesempatan, Kiai Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.
Pada tahun 1968, dalam masa pemerintahan Orde Baru, Kiai Badawi 
diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di DPA itu, ia 
memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam. 
Namun, KHA. Badawi sebenarnya hanya sedikit memberikan nasehatnya pada 
pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya 
yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan 
fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam 
memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).
KHA. Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di 
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa 
menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya. Di saat 
meninggal, KHA. Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan
 Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah beliau ditempatkan 
sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil 
Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.






 
 
 

 
 
 
