Gadis kecil itu menuntunku pelan, mempersilakan
aku untuk duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tengah. Meskipun masih
menyimpan seribu tanya, aku tetap menuruti kemauannya.
“Sebenarnya apa yang ingin Alif sampaikan ke
bunda?” tanyaku lirih. Gadis kecilku hanya tersenyum dan menggeleng pelan. Aku
mengkerutkan kening tak mengerti.
“Tidak ada. Tapi Alif ingin memberikan hadiah
untuk bunda.”
“Hadiah? Hadiah apa?” tanyaku heran.
Aku memperhatikan tingkah gadis kecil itu dengan
seksama. Ia membenarkan mukenanya lantas berkata,
”Bismillahhirrahmannirrahim. 'amma
yatasaa-aluun. 'ani nnaba-i l'azhiim. Alladzii hum fiihi mukhtalifuun. Kallaa
saya'lamuun. Tsumma kallaa saya'lamuun. Alam naj'ali l-ardha mihaadaa.
Waljibaala awtaadaa. Wakhalaqnaakum azwaajaa. Waja'alnaa nawmakum subaataa.
Waja'alnaallayla libaasaa. Waja'alnaa nnahaara ma'aasyaa. Wabanaynaa fawqakum
sab'an syidaadaa. Waja'alnaa siraajan wahhaajaa. Wa-anzalnaa mina lmu'shiraati
maa-an tsajjaajaa. Linukhrija bihi habban wanabaataa. Wajannaatin lfaafaa. Inna
yawma lfashli kaana miiqaataa. Yawma yunfakhu fii shshuuri fata/tuuna afwaajaa.
Wafutihati ssamaau fakaanat abwaabaa. Wasuyyirati ljibaalu fakaanat saraabaa.
Aku mendengarkannya dengan perasaan haru. Alunan
hafalan yang ia ucapkan begitu sempurna membuat hatiku termagu. Gadisku masih
kecil. Usianya baru menginjak 8 tahun, tapi hafalannya begitu luar biasa.
Bacaan tajwid yang ia ucapkan bisa sempurna tanpa salah kata. Sungguh, aku
teramat takjub padanya.
“Inna jahannama kaanat mirshaadaa. Liththaaghiina
maaabaa. Laabitsiina fiihaa ahqaabaa. Laa yadzuuquuna fiihaa bardan walaa
syaraabaa. Illaa hamiiman waghassaaqaa. Jazaa-an wifaaqaa. Innahum kaanuu laa
yarjuuna hisaabaa. Wakadzdzabuu bi-aayaatinaa kidzdzaabaan. Wakulla syay-in
ahsaynaahu kitaabaa. Fadzuuquu falan naziidakum illaa 'adzaabaa. Inna
lilmuttaqiina mafaazaa. Hadaa-iqa wa-a'naabaa. Wakawaa'iba atraabaa. Waka/san
dihaaqaa. Laa yasma'uuna fiihaa laghwan walaa kidzdzaabaa. Jazaa-an min rabbika
'athaa-an hisaabaa. Rabbi
ssamaawaati wal-ardhi wamaa baynahumaa rrahmaani laa yamlikuuna minhu
khithaabaa. Yawma
yaquumu rruuhu walmalaa-ikatu shaffan laa yatakallamuuna illaa man adzina lahu
rrahmaanu waqaala shawaabaa. Dzaalika lyawmu
lhaqqu faman syaa-a ittakhadza ilaa rabbihi maaabaa. Innaa andzarnaakum 'adzaaban
qariiban yawma yanzhuru lmaru maa qaddamat yadaahu wayaquulu lkaafiru yaa
laytanii kuntu turaabaa. “
Subhanallah. Luar biasa. Bahkan aku tak mengira
ia sudah hafal 40 ayat dari surah An Naba’ dengan lancar.
“Sadaqallahhuladzim. Bunda, selamat ulang tahun,
yaa.”
Degg. Aku tertegun. Gadis kecilku mengatakannya
dengan penuh kepolosan. Sungguh, hatiku menangis mendengarkan penuturan
lembutnya. Tuhan, bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal yang begitu luar
biasa ini? Bahkan ini adalah hadiah terindah yang pernah aku dapatkan seumur
hidupku.
“Terima kasih, sayang.”
Hanya dalam hitungan detik, aku memeluk gadis
kecilku erat. Air mata yang tertahan begitu terhujan dalam dekapannya.
“Alif sayang bunda.”
Aku mendengarnya. Meskipun lirih aku tetap bisa
mendengarnya. Sungguh, jika aku harus memilih, ini adalah moment terindah dalam
hidupku.
“Bunda juga sayang Alif.”
Untuk kesekian kalinya aku menangis. Alif. Dia
adalah anugerah terindah dalam hidupku.
“Bunda, kenapa nangis?”
“Tidak, sayang. Bunda tidak menangis. Bunda
hanya terharu dengan hadiah yang Alif berikan. Bagi bunda ini adalah hadiah
terbaik yang pernah bunda dapatkan.”
“Sungguh?”
Aku mengangguk pelan. Untuk kesekian kalinya
gadis itu mengecup pipiku.
“Kalau begitu, Alif mau jadi hafidzah, bunda.”
“Hafidzah?”
“Iya, biar bisa hafal al Qur’an dan memberikan
semuanya untuk bunda.”
Aku terhenyak. Mendengar keinginannya saja hatiku
sudah bergetar hebat. Bagaimana mungkin cita-cita yang ia miliki bisa semulia
itu. Tuhan, sungguh, ia bagaikan malaikat yang begitu sempurna.
“Ke.. kenapa Alif mau jadi hafidzah?” tanyaku
terbata-bata.
“Karena Alif ingin memberikan mahkota yang indah
yang cahayanya lebih terang dari cahaya matahari di akhirat kelak. Karena Alif
ingin memberikan semuanya untuk bunda. Semuanya.”
Aku menangis. Ku dekap erat tubuh mungilnya.
Andaikan Tuhan tahu, satu-satunya harta berharga yang aku miliki adalah Alif.
Ya, sosok malaikat kecilku yang teramat sangat aku cintai.
***
Penulis : Dewi Apriani (PC IPM Imogiri)