Penerapan sebuah sistem atau
kebijakan baru sudah pasti akan memiliki dampak yang baru pula, walaupun
sistem baru ini sudah diputuskan berdasarkan analisis hasil evaluasi,
kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak sebelumnya, namun dampak positif dan negatifnya akan senantiasa
mengikuti perjalanan sebuah sistem baru tersebut, termasuk dengan penerapan
penyelenggaraan UN pada tahun 2013 ini.
Hampir sebagian besar dari
masyarakat berpendapat bahwa UN bukanlah cara efektif untuk menentukan nilai sebuah
kelulusan. Banyak dari mereka yang menyayangkan adanya pelaksanaan ujian
tersebut, termasuk dengan UN 2013 ini. Hal itu dapat kita lihat dari berbagai
aksi penolakan yang mereka lakukan terhadap pemerintah baru-baru ini. Selama ini UN dianggap pemerintah sebagai alat tolok ukur
untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar lebih baik, namun bagi pelajar yang
menjalankan UN, ujian ini hanya dijadikan instrumen kelulusan yang sangat ditakuti.
Faktanya, kini UN telah menjadi momok dan tolak ukur keberhasilan siswa
dan sekolah. Dikatakan menjadi momok karena memang UN menjadi muara dari proses
pembelajaran selama 3 tahun menempuh studi, tetapi cukup ditentukan oleh UN yang
hanya beberapa materi pelajaran saja dalam beberapa jam, sesuatu hal yang
kurang tepat untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu hanya dari satu
aspek intelektual saja.
Memang sudah sepatutnya UN
dikembalikan fungsinya sebagai pemetaan kualitas sekolah dan tenaga
kependidikan, karena yang menjadi patokan kelulusan siswa adalah nilai dan
ijazah yang dikeluarkan sekolah. Dalam hal ini, yang lebih tahu persis track record siswa selama sekolah adalah
guru dan pengelola sekolah yang bersangkutan. Bukankah orientasi pendidikan
adalah proses, sedangkan hasil (lulus/tidak lulus) adalah konsekuensi dari
proses, yang rasanya tidak cukup hanya dengan nilai kognitif beberapa mata
pelajaran semata.
Apalagi kalau kita kembali menilik pelaksanaan Ujian Nasional 2013 kemarin yang sangat amburadul. Distribusi dan kualitas lembar soal yang sangat buruk harus membuat siswa yang sudah panik tambah panik lagi. Bahkan ada dalam sebuah pemberitaan seorang siswa yang bunuh diri karena stress menghadapi UN. Telisik punya telisik diduga UN tahun ini ada "permainan" kotor dalam proses tender percetakan sehingga kualitas dan kinerja percetakan tak sesuai yang diharapkan. Belum lagi pelaksanaan yang kacau balau. Kalau sudah semacam ini, apakah masih layak UN digunakan sebagai parameter kelulusan siswa ?
Oleh : Dewi Apriani
Kader PC IPM Imogiri/Mahasiswa Poltekkes Kemenkes Yogyakarta