Belajar dari Tanah Suci

   "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir".Q.S. al-Hajj/22: 27-28.

 
Hari-hari ini kita dapat menyaksikan keberangkatan Jamaah haji Indonesia ke Tanah Suci. Sejak mulai diberangkatkan pada Ahad 02 Oktober 2011, mereka terus berduyun-duyun memadati al-Haramain (Dua Tanah Suci Makkah dan Madinah), bersama jutaan jamaah haji dari seluruh dunia. Gemuruh lafadh Talbiyah dikumandangkan sejak dari Tanah Air hingga Tanah Suci. Mereka datang memenuhi panggilan Allah Swt, berserah diri di pangkuan Dzat Yang Maha Besar.
 
Jumlah Jama’ah haji Indonesia, selalu menduduki urutan pertama dibanding dengan jumlah jamaah haji dari negara-negara lain. Sejumlah 221.000 orang jamaah (terdiri dari 201.000 orang reguler dan 20.000 jamaah khusus) sedang dalam proses pemberangkatan melalui 11 bandara keberangkatan (embarkasi). Kafilah haji akan terus berdatangan sampai beberapa hari menjelang dimulainya wukuf di Arafah, 09 Dzulhijjah. Kafilah haji Al-Azhar pada tahun inii terdiri dari dua kelompok, kelompok haji khusus dan kelompok haji reguler. Kelompok haji khusus dengan jumlah 62 calon haji akan berangkat tanggal 21 Oktober 2011, sedangkan kelompok reguler dengan jumlah 95 calon haji akan berangkat pada tanggal 30 Oktober 2011. Semua menuju ke Tanah Suci. Semua memulai ritualnya dalam keadaan suci; badan yang suci, pakaian suci, makanan yang suci, ongkos naik haji yang suci, bekal yang suci, bahkan sebagai simbol kesucian itu, Al-Azhar memberangkatkan calon jama’ah hajinya dari Masjid Agung Al-Azhar yang suci dengan harapan dapat tiba di Tanah Suci dalam kondisi tetap suci dan kembali setelah haji dengan menyandang gelar mabrur yang suci pula.
 
Ibadah haji merupakan ibadah yang terpadu di dalamnya taklufah mâliyyah (pengorbanan harta), ibâdah jasadiyyah (pengabdian fisik), dan ibâdah rûhiyyah (pengabdian spiritual) kepada Allah. Pengorbanan harta, karena orang yang berangkat haji harus mengeluarkan biaya perjalanan, akomodasi dan lain-lain dalam jumlah besar. Pengabdian fisik, karena selama menjalankan ibadah haji, seorang dihadapkan pada udara yang ekstrim, dingin sekali atau panas sekali di Tanah Haram. Kerumunan manusia yang sangat banyak menyebabkan sering terjadi antrian panjang, berjejal-jejal, dan menyesakkan. Maka diperlukan fisik yang sehat dan kuat sehingga mampu melaksanakan serangkaian ritual haji. Pengabdian spiritual, karena setiap muslim yang melaksanakan haji harus memulai ibadahnya dengan tulus ikhlas beribadah hanya kepada Allah. Selama di Tanah Suci dia harus mempertebal olah batin dengan zikir, istighfar, tahlil, tahmid, takbir, serta membersihkan hati sebersih-bersihnya. Rangkaian ibadah haji mencerminkan miniatur rangkaian hidup kita yang menyatu di dalamnya aspek material dan spiritual, lahir dan batin. Banyak pelajaran yang sangat berharga dalam perjalanan ke Tanah Suci.
 
 
Risalah Tauhid
Ritual haji merupakan praktik ibadah yang tidak dapat lepas dari sejarah Nabi Ibrahim a.s.. Hampir semua rukun dan wajib haji yang dilakukan jama’ah haji berkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim, bersama keluarganya. Ibadah Sa'i mengikuti jejak pengalaman Siti Hajar, Istri Ibrahim, yang mencari air untuk putra tercintanya, Ismail (Q.S. al-Baqarah/2: 158). Ibadah lempar jumrah mengikuti pengalaman Ibrahim ketika diganggu setan dalam melaksanakan perintah Allah. Menyembelih binatang kurban mengikuti pengalaman Ibrahim yang diperintahkan untuk berkurban (Q.S. al-shafât/37: 107).
Ibrahim a.s. dikenal sebagai Bapak para nabi, dan Bapak monotheisme, serta “proklamator keadilan Ilahi”. Semua agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam merujuk kepada beliau. Tentang kebesaran sosok Ibrahim a.s., Abbas Muhammad Aqqad menulis:
“Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan. Penemuan Ibrahim tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ...”
Itulah penemuan tentang hakekat Tuhan. Dia adalah Tuhan Yang Esa sang Pencipta sekaligus Pemelihara alam semesta serta isinya. Kepastian yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu. Sebab segala kepastian itu menjadi sirna dan hancur bila ada penemuan yang mengatakan alam ini diatur oleh banyak tuhan. 
Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, dan lebih meyakinkan. Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu, tapi Tuhan seluruh jagat raya, Tuhan yang immanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya. Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara universal.
Ajaran Ibrahim as. atau “penemuan” beliau benar-benar merupakan suatu lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai masa Ibrahim bukan merupakan ajaran kenabian dan risalah seluruh umat manusia. Di Mesir 5.000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.
Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya. "Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". Q.S. Ali Imrân/3: 26.
Maka semua jama'ah haji ketika melaksanakan ibadah haji, meneguhkan kembali tentang prinsip-prinsip tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim yang meliputi:  1). Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah. 2). Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak. 3) Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.
Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia untuk menyadari, bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, karena semua mereka diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah swt.. Dalam firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S. al-Hujurat/49 13) . Dalam ayat tsb menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.
Haji dan Pengurbanan
Ritual haji sangat sarat dengan nilai pengurbanan. Ia juga menegaskan tentang cara-cara pengurbanan yang benar. Ibrahim hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut pandangan tentang manusia dan kemanusiaan, antara kebolehan memberi sesajen yang dikorbankan berupa manusia, atau ketidakbolehannya dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat mulia, melalui Ibrahim as. secara amaliah dan tegas larangan tersebut dilakukan, bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tak wajar untuk dikorbankan atau berkorban, tapi karena Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan untuk dikorbankan, sebagai pertanda bahwa apa pun --bila panggilan telah tiba wajar untuk dikorbankan demi karena Allah. Setelah perintah tersebut dilaksanakan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Tuhan dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktik pengorbanan semacam itu pun tak diperkenankan.
Tidak ada cita-cita tanpa pengurbanan. Semakin besar pengurbanan semakin besar kemungkinan cita-cita itu dapat diraih. Begitu pula kiranya makna simbolik perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk mengurbankan putra tercintanya, Ismail. Pengurbanan yang tinggi kepada Allah, mengalahkan segala bentuk egoisme. Nabi Ibrahim berhasil meraih cita-cita meneguhkan kalimah tauhid, meneguhkan al-dîn al-hanîf (agama yang lurus), dan mensejahterakan manusia lahir dan batin, sebagaimana tersebut dalam doanya: "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”. (Q.S. Ibrâhîm/14: 35). Doanya pula:  "Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”. (Q.S. al-Baqarah/2: 126). Doa-doanya itu dikabulkan Allah karena tidak sekedar diucapkan melalui kata-kata, tapi didahului dengan besarnya pengurbanan yang dilakukan.
 
Hakekat kurban bukan pada benda yang diberikan, tapi pada keikhlasan dan kepasrahan. Allah tidak menerima materi kurban yang kita persembahkan. Nilai kurban bukan pada besar kecil barang yang dikurbankan, bukan pada materi kurban, tapi pada tingkat taqwa yang dimiliki oleh orang yang berkurban. Firman Allah:“Daging-daging (binatang korban) dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya”. (Q.S. al-Hajj/22: 37). Pengorbanan yang besar sekalipun akan menjadi sia-sia, tidak berguna dan tidak diterima apabila tujuannya bukan karena cinta dan kesetiaan kepada Allah, tapi hanya ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi seperti, sanjungan dan pujian dari orang lain.
 
Dalam simbolik kurban, Allah mengajari bagaimana seharusnya proses kurban itu dilakukan. Pertama. memilih binatang sembelihan yang terbaik, unta yang sehat dan gemuk misalnya, meskipun sapi, kambing juga dibolehkan. Kedua, memulai menyembelih dengan memperbanyak menyebut nama Allah agar keikhlasan tertanam ke dalam jiwa. Kemudian mengasah pisau untuk menyembelih agar tidak menyakiti binatang yang disembelih. Hadits Rasulullah Saw.: ”Jika kamu hendak menyembelih, maka perbaikilah cara menyembelihmu”. Ketiga, daging yang disembelih itu dibagi-bagi tidak dimakan sendiri. Allah berfirman: ”dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur. Q.S. al-Hajj/22: 36
 
Bila kurban itu dalam syariatnya dilambangkan dalam bentuk menyembelih binatang ternak, seperti: kambing, sapi, kerbau, atau unta, maka kurban itu seharusnya dikembangkan dalam pengertian yang lebih luas. Kurban tidak hanya dengan menyembelih binatang ternak dan tidak hanya dilakukan pada waktu Idul Adha saja. Ummat Islam dituntut untuk melatih diri agar mengorbankan apa saja yang dimiliki, dalam rangka cinta dan kesetiaan kepada Allah, guna membangun kepentingan agama, meningkatkan solidaritas ummat, memperbaiki kehidupan sosial kemasyarakatan, dan menciptakan kesejahteraan seluruh manusia.
Haji Miniatur Kehidupan
Setiap orang yang menjalankan ibadah haji, memulai dengan memakai pakaian ihram putih bersih, bermula dari miqat menuju ke satu titik yaitu Ka'bah. Memulai dalam keadaan suci bersih dan mengakhiri dalam keadaan suci bersih. Kita memulai kehidupan ini juga dari putih bersih (fithrah) tanpa salah dan dosa dan diharapkan dapat mengakhiri kehidupan ini dengan putih bersih pula. Walau berbagai tantangan dan ujian mencoba memperdayakan, namun kita harus tetap waspada menjaga kesucian diri. Allah berfirman: "Sungguh beruntung orang yang berhasil mensucikan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya". Q.S. Al-Syams/91: 9-10 
Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya dan juga menurut al-Qur’an berfungsi sebagai pembeda antara seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat Makani, di tempat dimana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa dalam satu kesatuan dan persamaan. “Di Miqat ini apa pun ras dan sukumu lepaskan semua pakaian yang engkau kenakan sehari-hari sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan). Tinggalkan semua itu di Miqat dan berperanlah sebagai manusia yang sesungguhnya.
Di Miqat dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih, sebagaimana yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji akan atau seharusnya dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang disisi-Nya tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian kepada-Nya.
Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Seperti jangan menyakiti binatang, jangan membunuh, jangan menumpahkan darah, jangan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan itu, dan memberinya kesempatan seluas mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga menggunakan wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada Tuhan sebagaimana apa adanya.
 Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan. Di sana misalnya ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim, pembangun Ka’bah ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu, namun demikian budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana atau peninggalannya diabadikan Tuhan, untuk menjadi pelajaran bahwa Allah swt memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena kedekatannya kepada Allah swt dan usahanya untuk menjadi hajar atau berhijrah dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Ketika thawaf keliling Ka'bah, kita mulai dari jarak yang paling jauh. Sedikit demi sedikit kita berkeliling semakin dekat kepada Ka'bah. Proses yang kita lakukan selama berkeliling tidak mudah, karena yang melakukan thawaf jumlahnya sangat banyak, puluhan bahkan ratusan ribu orang. Kita harus berdesak-desakan, berhimpit-himpitan, bahkan ada yang melakukan thawaf di lantai dua atau tiga, karena mathâf (tempat thawaf) sangat padat. Dalam kehidupan kita sehari-hari, sejatinya kita sedang melakukan thawaf (berkeliling) menuju ke satu titik, yaitu Allah SWT. Selama berkeliling menuju Allah, berbagai rintangan dihadapi. Problema hidup silih berganti menghimpit hingga tak jarang terpental menjauh dari titik pusat. Godaan duniawi sering menjauhkan kita dari Allah, menjadi lupa diri, lantas memperturutkan hawa nafsu. Oleh karenanya, hendaknya kita melakukan thawaf (keliling) dalam kehidupan ini sejalan dengan aturan yang ditentukan oleh Sang Khaliq. Tidak menentang, melawan, atau meninggalkannya. Dilakukan secara serentak, tidak egois, untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi, tidak ada ucapan-ucapan keji, kotor, atau pertengkaran, sebagaimana yang terlukis dalam ibadah haji, falâ rafatsa wa lâ fusûqa wa lâ jidâla fi al-hajj (maka tidak ada ucapan kotor, keji, dan permusuhan selama dalam ibadah haji, Q.S. al-Baqarah/2: 197).
 
Maka dalam hidup ini diperlukan upaya yang terus menerus (sa'î) agar dapat menjalankan roda kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim, dalam kisahnya, berupaya (sa'î) mendapatkan air untuk anaknya, Ismail, berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah. Usaha mendapatkan air pada akhirnya tidak sia-sia, karena Allah memancarkan air yang kelak disebut dengan air Zamzam. Keyakinan yang mesti ditanamkan ke dalam hati setiap muslim adalah bahwa setiap usaha yang tulus dan sungguh-sungguh, pasti membawa hasil, langsung atau tidak langsung. "Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik". Q.S. al-Isrâ'/17: 19.
 
Pada saatnya kemudian, setelah berkeliling berusaha dengan susah payah dalam hidup, seorang mukmin mengetahui sejatinya hidup (Arafah), darimana dia hidup, untuk apa dia hidup, dan kemana ia kembali. Sebagaimana perenungan yang dilakukan setiap haji yang sedang bermunajat di Arafah, merasakan ketentraman dan ketenangan bersama Allah di alam terbuka Padang Arafah, maka setiap mukmin menjalin hubungan yang erat dengan Allah hingga merasa selalu mengetahui Tuhannya. Apabila secara kasat mata dia tidak sanggup mengetahui-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihatnya.
 
Pada akhirnya, ibadah haji bukan sekejar ritual tahunan yang hanya menghabiskan biaya besar. Tapi mestinya membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar. Haji tidak hanya selesai di bulan-bulan haji. Pengaruhnya menembus batas berbagai pelapisan sosial hingga diluar musim haji, meluluhkan hati mereka yang sombong dan congkak, meningkatkan kebersamaan dan kedermawanan, mengangkat kemiskinan dan kebodohan, dan menjalin hubungan akrab di kalangan masyarakat yang majemuk. Bila hal itu yang dapat dilakukan sepulang melaksanakan haji, maka orang yang berhaji akan menyandang predikat haji mabrur, laisa lahum jazâ' illa al-jannah (tiada balasan baginya melainkan surga baginya). Orang-orang yang mabrur itu digambarkan oleh Rasulullah Saw. memiliki ciri-ciri antara lain: ith'âm al-tha'âm (memberi makan) kepada orang yang kelaparan, dan thib al-kalâm (baik budi dan tutur katanya). Mereka adalah manusia dermawan yang gerak dan ucapannya membawa kesantunan, kasih sayang dan kedamaian bagi semua.
 
 
Dr. H. Shobahussurur, M.A