Ramadhan Meninggalkan Kita, Bukan Kita Meninggalkan Ramadhan

Adalah sebuah sunnatulloh jika waktu terus bergulir, bulan Rajab selesai berganti bulan Sya`ban, Sya`ban usai diganti Ramadhan, dan Ramadhan pun juga akan digantikan oleh bulan Syawwal. Ramadhan yang merupakan bulan yang selalu dinantikan oleh umat muslim sedunia tidaklah kekal. Terlepas dari itu semua yang menjadi permasalahan adalah bagaimana sikap kita disaat Ramadhan itu berakhir.
Foto Bareng Saat  di Banyumeneng, Gunung Kidul Dalam Rangkaian Kegiatan Kunsiroh 1433 H

Dalam sebuah silaturahmi bersama teman-teman PC IPM Imogiri, ada satu perbincangan menarik yakni dikala bersilaturahmi di rumah Pak Mahudi, beliau adalah salah satu sesepuh Muhammadiyah di Imogiri. Pagi itu kami berkunjung ke rumah beliau, dengan sikap supelnya beliau menyambut kedatangan kami. Silaturahmi diawali dengan prosesi permohonan maaf dari kami dilanjutkan tanggapan dari Pak Mahudi. Selepas itu kami dipersilahkan untuk menikmati makanan yang dihidangkan.

Disaat kami menikmati hidangan yang ada, Beliau menyampaikan petuah-petuahnya yang semua terbungkus dalam pembawaannya yang santai dan tidak terkesan menggurui. Beliau cukup prihatin dengan kondisi umat islam saat ini dalam mengakhiri bulan Ramadhan. Umat Islam saat ini terkesan justru bersuka cita mengakhiri Ramadhan. Riuh kegembiraan bisa dilihat pada ramainnya mall-mall yang dipadati para pembeli, untuk membeli pakaian atau sekedar membeli makanan snack untuk lebaran. Selain itu meriahkan “perayaan” takbir disana-sini yang disertai dengan gemerlapan kembang api dan lain sebagainnya. Pak Mahudi membandingkan dengan apa yang diteladankan Rasululloh SAW. Nabi Muhammad menghadapi momen-momen berpisahnya dengan Ramadhan dengan duka yang mendalam. Nabi Muhammad menangis dan seolah tak ingin dipisahkan dengn bulan yang mulia ini. Memperbanyak waktu-waktu perpisahan itu dengan berada di masjid untuk berinstropeksi dan merefleksikan segala ibadah yang telah dilakukannya dikala ramadhan seraya berdoa kepada Allah agar tahun depan bisa kembali dipertemukan dengan Ramadhan.

Sikap Rasululloh itulah yang dinamakan “Ditinggalkan Ramadhan”. Dalam konteks ini Ramadhanlah yang memang meninggalkannya dan Beliau tidak mau meninggalkan Ramadhan meskipun kenyatannya memang ramadhan harus meninggalkannnya. Konsepsi inilah yang kemudian akan menyebabkan akan sangat sedih ditinggalkan Ramadhan. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukan umat muslim saat ini, kebannyakan mereka menyikapi akhir Ramadhan dengan konsep “Meninggalkan Ramadhan”. Sebuah anggapan dimana kita memang secara sengaja seolah ingin segera meninggalkan Ramadhan. Ramadhan menjadi sebuah hal yang membebani, segera ingin menuntaskannya. Indikasi yang nampak adalah luapan kegembiraan diakhir-akhir Ramadhan. Hal ini akan berimplikasi pada melemahnya peribadatan di bulan Ramadhan itu sendiri. Akhir ramadhan yang sejatinya adalah momen untuk optimalisasi ibadah kita kepada Allah, namun justru terisi dengan hal-hal berbau hedonis untuk mempersiapkan “perayaan atas kemenangan” menuju Lebaran. 
 
Diakhir obrolan ini, Pak Mahudi mengajak kita untuk instropeksi diri kita termasuk ke golongan yang “Ditinggalkan Ramadhan” atau orang-orang yang “Meninggalkan Ramadhan”. Hal ini sangat penting untuk kembali mereorientasi sikap kita dalam mengakhiri Ramadhan. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang selalu rindu dengan datangnya Ramadhan dan sedih jika ditinggalkan Ramadhan. Akhirnya semoga kita diizinkan untuk bersua kembali.


Oleh : Phisca Aditya Rosyady (IPM Imogiri)