Awal Juni lalu kelompok liberal melakukan aksi di depan Istana Negara yang bertajuk Apel Akbar Aksi Cinta Indonesia dalam rangka mengkampanyekan komunitas baru mereka bernama #bedaIsMe. Seolah mendapatkan momen untuk mengkampanyekan liberalismenya, mereka menggelar acara tersebut selepas digagalkannya konser artis kontroversial Lady Gaga dan penolakan ormas-ormas Islam terhadap buku Irshad Manji.

Mengatasnamakan Pancasila, komunitas ini menyebut aksi mereka sebagai upaya menjaga keragaman, kebebasan, dan toleransi. Selain para aktivis liberal, aksi ini juga dihadiri oleh penganut Ahmadiyah, Syiah, aktivis gereja ilegal Bekasi, GKI Yasmin Bogor, dan Aceh Singkil –yang menurut mereka telah menjadi korban kekerasan agama. Aksi demo komunitas #bedaIsMe ini seolah mengamini laporan LSM-LSM liberal Indonesia kepada Dewan HAM PBB di Jenewa Swiss tanggal 26 Mei lalu, bahwa telah terjadi intoleransi beragama yang signifikan di Indonesia.

Disini kita lihat konsep toleransi menjadi alat legitimasi bagi kaum liberal untuk membela penyelewengan agama (mis. Ahmadiyah, Irshad Manji,dll), kriminalitas dan demoralisasi. Bahkan dengan memunculkan sentimen emosi kelompok yang dianggap menjadi korban, mereka memberi judul konser mereka #bedaIsMe: Persembahan bagi Korban Kekerasan Agama.
Tentu sebagai muslim kita patut mempertanyakan, faktualkah apa yang dikampanyekan oleh komunitas #bedaIsMe dan apa yang dilaporkan LSM-LSM liberal tersebut? Ataukah telah terjadi kerancuan pemaknaan  terhadap ide toleransi itu sendiri? Adakah  konsep toleransi dalam Islam? Bagaimana batasan-batasannya?

Toleransi dalam Islam
Dr Anis Malik Toha dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama  menyebutkan bahwa pada dasarnya istilah toleransi tidak terdapat dalam istilah Islam, akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon dari sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu, sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Hanya saja, beberapa kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan menggunakan istilah “tasamuh”, yang kemudian menjadi istilah baku untuk topik ini. Dalam kamus Inggris-Arab, kata “tasamuh” ini diartikan dengan “tolerance”. Padahal jika kita merujuk kamus bahasa Inggris, akan kita dapatkan makna asli “tolerance” adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).

Kata “tasamuh” dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).

Namun, berbeda dengan toleransi dalam tafsir dan realitas Barat, jika toleransi di sana muncul sebagai bentuk reaksi atas kondisi sosial politik, maka toleransi dalam Islam telah born with dalam Alqur’an dan As-Sunnah sebagai landasan bagi pemeluknya untuk berinteraksi dalam keberagaman yang niscaya. Toleransi dalam Islam sangat khas dan batasan-batasannya pun jelas.
Umat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Dalam hadith yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi menyuruh kita memberikan hadiah kepada tetangga, meskipun mereka beragama Yahudi.
Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi. (Lihat, Yunus: 99-100 dan Al-Kahfi: 29)

Dalam sebuah Hadits, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki dari sahabat Anshar datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa dua anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil membacakan Surah Al-Baqarah ayat 256.
Persoalan keyakinan terpulang kepada hak pilih masing-masing individu. Sebab Allah Subhanahu wata’ala sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia, oleh Allah ta’ala diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman.

Namun, setelah seseorang sudah memilih Islam sebagai diennya, maka ada konsekuensi keimanan bagi dirinya, yakni menjaga kemurnian aqidahnya. Agaknya hal inipun berlaku juga bagi pemeluk agama apapun. Jika dalam aspek sosial kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi antara umat Islam dengan orang-orang non Islam.
Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tatkala diajak untuk mengikuti ibadah orang-orang kafir dan sebaliknya, orang-orang kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas Rasulullah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menolak tawaran yang ingin menghancurkan prinsip dasar Aqidah Islamiyah itu (Lihat, Al-Kaafirun: 1-6). Sama sekali tidak dibenarkan jika seseorang muslim merelatifkan kebenaran imannya dan menganggap bahwa apa yang diyakininya hanyalah klaim semata. Tentu saja hal yang demikian akan menghancurkan pondasi keimanannya. Ia harus meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama Allah yang disampaikan oleh para Rasul dan disempurnakan dengan diutusnya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam (Al-Maidah: 3). Diluar dinul Islam adalah jalan kesesatan yang hanya mengakibatkan kerugian (Ali-Imran: 85).

Jauh-jauh hari Buya Hamka telah menasehati kita, ketika menafsirkan Surah Al Mumtahanah dalam Tafsir Al Azhar, “…orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; “Bagi saya segala agama itu sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam.”

Toleransi ataukah Intoleransi?
Adapun pembelaan yang dilakukan komunitas #bedaIsMe terhadap kelompok-kelompok menyimpang dan kriminal secara nyata telah menginjak-nginjak akidah kaum Muslim dan norma-norma yang wajar di negeri ini. Kita telah sama-sama mengetahui tentang penyimpangan dan pelecehan ajaran-ajaran dasar Islam yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyah dan kampanye lesbianisme yang dilakukan Irshad Manji dalam berbagai bukunya yang mengklaim berasal dari penafsirannya atas ayat-ayat Alqur’an. Demikian pula kecurangan yang dilakukan GKI Yasmin dalam memanipulasi tanda tangan warga dan gereja-gereja ilegal lainnya. Juga Lady Gaga artis kontroversial yang juga mengkampanyekan gay dan lesbianisme.

Jika kasus-kasus ini yang mereka bela, sungguh ide toleransi hanya menjadi alat kaum liberal untuk mengekspresikan kebebasannya berekspresi, berpendapat, berbuat sebebas-bebasnya, namun melanggar dan menginjak-nginjak hak-hak pihak yang berseberangan dengannya. Sungguh intoleran!
Demikianlah memang jika ide toleransi yang dari barat itu secara mentah-mentah –tanpa ditimbang dulu dengan pandangan hidup Islam- dijadikan pedoman hidup dalam kehidupan yang penuh keragaman ini. Menjadi absurd, tanpa batas dan membingungkan.[Majalah Tabligh edisi Sya'ban - Ramadhan 1433]