Ar Rahman untuk Ibu - Cerpen



Entah sampai kapan hujan ini akan berhenti, aku tidak tahu. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam ketika menatap kondisi rumahku yang semakin memprihatinkan ini. Dari ramadhan kemarin hingga ramadhan tahun ini, keadaannya tidak pernah berubah. Masih sama. Terlihat memprihatinkan. Tetasan air yang perlahan turun, telah merembes jatuh membasahi seluruh ruangan dengan sempurna. Seketika pula aku selalu tertegun pasrah dengan kondisi yang hampir setiap hari aku saksikan ini. Miris. Prihatin. Seolah semua itu tiada pernah berganti selama bertahun-tahun. Suasana tetap sama. Tak ada sedikitpun beda. 

Sungguh, aku tak pernah bisa berkelik dengan keadaan, karena memang kenyataanlah yang berkata demikian. Aku hanyalah sosok gadis miskin yang terlahir dalam keadaan yang serba kekurangan. Ya. Bapakku telah tiada, semenjak tragedi meletusnya gunung Merapi merenggutnya. Sementara kini, aku hanya hidup luntang-lantung bersama ibuku, sosok buruh yang tidak tetap pekerjaannya. Bahkan tak tega rasanya aku terus-terusan melihat ibu menderita banting tulang, membuang waktu, tenaga dan nafasnya hanya demi mencari seberkas kehidupan untukku. Bagaimanapun juga, ibuku hanyalah seorang buruh keliling dengan hasil upah yang tak seberapa dan sisanya pun harus ia pergunakan untuk membayar sekolahku yang terbilang cukup mahal bagi keluargaku.

Sejatinya, keluargaku tidaklah ada selain diriku dan ibuku. Bapak dan keluargaku lainnya turut meninggal dalam tragedi gunung Merapi yang terjadi tahun lalu. Namun, walaupun demikian, aku merasa beruntung memiliki seorang ibu yang benar-benar mengerti keadaanku. Dari beliaulah, aku belajar untuk selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan, meskipun terkadang itu tak sebanding dengan jerih payah dan kerja keras yang telah aku usahakan.

“Rum...”

Lamunanku buyar ketika mendengar sapaan itu. Kulihat seorang perempuan separuh baya yang sedang menggigil kedinginan telah berdiri tepat dibelakangku. Seketika juga aku terbelalak melihat kondisinya yang memprihatinkan. Basah.

“Masya Allah, ibu. Kenapa bisa kehujanan?” teriakku panik. Cepat-cepat aku berlari mengambil handuk dan mengusap wajahnya.

“Tak apa, Rum. Ibu baik-baik saja,” desisnya pelan.

“Maaf ibu pulang terlambat, tadi banyak barang bekas di penampungan, jadi ibu harus bekerja lebih lama untuk memilah-milah barang yang ada. Tadi juga mampir tarawih di masjid depan, nunggu ustadz Yusuf selesai ceramahnya,” lanjutnya kemudian. Aku hanya mengangguk dan tersenyum perlahan padanya.

“Ibu, kalau saja Rum bisa membantu, Rum ingin sekali bisa bekerja bersama ibu.”

Ibu menggeleng pelan. “Kau ini masih kecil, Rum. Belum sepantasnya bekerja banting tulang seperti ibu. Kewajibanmu hanyalah belajar. Cukup belajar, dengan begitu saja ibu akan selalu bangga padamu.”

Perempuan itu tetap bersahaja. Ditengah kesulitan yang ia hadapi, sikap lembutnya tidak pernah terbias untukku, seperti halnya saat ini. Betapapun hati terasa teduh melihat tatapan matanya yang bahagia. Rona wajahnya begitu sempurna memancarkan kepuasan atas hasil kerja kerasnya hari ini, dari subuh hingga petang telah lebih dari cukup.

Malam itu, aku hanya duduk bersandar di serambi depan rumahku yang sempit. Hujan belum juga reda, keadaan angkasa masih tetap gelap gulita. Pandanganku tertuju pada suatu benda kusam yang telah basah terkena air hujan. Baju ibu. Tampaknya terlihat kotor dan tak layak pakai. Lusuh. Kumal. Benar-benar memprihatinkan. Juga kotak barang. Sebuah box tetapi warnanya sudah hampir pudar, goresan kecil telah merobek beberapa sudutnya, kayunya ada yang patah, dan berlubang di mana-mana. Sudah rusak parah, tak layak pakai. Begitu miris hatiku melihatnya. Ibu tak akan sanggup membeli box sebesar itu lagi, karena harganya relatif mahal bagi keluarga kami. Upahnya saja hanya cukup untuk biaya makan dan sekolahku itupun jika ia mendapatkan barang-barang pilihan yang masih relatif bisa digunakan.

Perlahan tapi pasti angin meniup lembut kain jilbabku, keheningan malam menuntunku untuk merenung dan berfikir sejenak bagaimana cara untuk mendapatkan uang untuk membelikan ibu sebuah box. Aku ingin sekali membalas kebaikan dan pengorbanan ibu selama ini walau hanya dengan sebuah box untuk barang bekas.

Sungguh pikiran ini membuat aku benar-benar tak bisa tidur, aku takut bila aku takut tidak dapat memberikan balasan pada ibu. Bagaimanapun juga perjuangannya begitu besar untukku. Tak terhitung berapa tahun ia mencurahkan segala pengorbanannya untukku.

***

Ikutilah!
Lomba hafalan Qur’an surah Ar Rahman SMA/SMK/MA se – DIY Jateng
Dalam rangka Milad Muhammadiyah XVIII
Berkat kerja sama Pimpinan Wilayah Ikatan Muhammadiyah
Dengan memperebutkan thropy Gubernur DIY dan uang pendidikan
Senilai Rp 900.000,00
Pendaftaran tanggal 1 - 14 Januari 2014
Pelaksanaan 15 Januari 2014
Pendaftaran di Kantor Sekertariat Pimpinan Muhamadiyah :
Jalan Gedong Kuning 130B Yogyakarta
Penilaian dan pemberian hadiah pada hari H
Informasi lomba ipmo.blogspot.com
Telp. 0274 005585


Aku membaca tulisan itu dengan jelas. Entah mengapa hatiku sangat gembira mendapatkan informasi penting itu. Ini adalah sebuah kesempatan emas yang tak mungkin aku sia-siakan. Ar Rahman. Adalah salah satu surah yang selalu aku hafal setiap harinya. Itu mudah. Aku akan mengikuti lomba itu. Dan aku akan berusaha sekuat mampuku. Demi ibu, aku akan melakukannya.

Biarpun aku harus mengayuh sepeda puluhan kilo meter, menempuh Kaliurang – kota Jogja dalam keadaan puasa, biarpun aku harus bersusah payah menerobos hujan abu yang sedang melanda, biarpun aku datang terlambat hanya untuk daftar lomba, biarpun aku harus bersaing dengan ribuan peserta, namun tak menyurutkan sedikitpun langkahku untuk tetap bisa mengikutinya. Aku punya kesempatan. Dan itu benar. Sekecil apapun kemungkinan yang terjadi, aku selalu percaya bahwa aku akan mendapatkan yang terbaik dari – Nya. demi ibu, aku melakukannya.

“Peserta selanjutnya, nomor 01242 ...” suara itu membuyarkan lamunanku. Itu adalah nomorku. Dan tiba saatnya giliranku. Entah mengapa peluh keringat yang membasahi wajahku semakin menghujan deras. Aku gugup. Dan itu benar. Namun, dengan tekad yang bulat, aku melangkah maju ke depan untuk melafalkan surah itu.

Bismillahhirrahmannirrahhim. Ar rahmaan. ‘allamalqur-aan. Khalaqal insaan. ‘allamahul bayaan. Asy syamsu wal qamaru bi husbaan. Wan najmu wasy syajaru yasjudaan. Was samaa-a rafa’ahaa wa wadha’al miizaan. Alla tathghau fil miizaan. Wa aqiimul wazna bil qisthi wa laa tukhsirul miizaan. Wl ardha wadha’ahaa lil anaam. Fiihaa faakihatuw wan nakhlu dzaatul akmaam. Wal habbu dzul ‘ashfi war raihaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Khalaqal insaana min shalshaalin kal fakhkhaar. Wa khalaqal jaanna min maarijim min naar.”

Mataku terpejam. Aku mulai menuturkan ayat demi ayat surah itu. Perlahan tapi pasti, semua mengalir begitu saja. Entah kekuatan apa yang tiba-tiba muncul, aku merasa bisa melakukannya.

"Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Rabbul masyriqaini wa rabbul maghribain. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Marajal Bahraini yaltaqiyaan. Bainahumma barzakhul laa yabghiyaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Yakhruju minhumal lu’lu-u wal marjaan.Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Wa lahul jawariil munsya-aatu fil bahri kal a’lam. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Kullu man ‘alaihaa faan.Wa yabqaa wajhu rabbika dzul jalaali wal ikraam. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Ya s–aluhuu man fissamawaati wal ardhi kulla yauminhuwa fii sya’n. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan.”

Mataku masih terpejam. Di depan sana, ribuan siswa yang ikut serta, ratusan hadirin yang ada serta puluhan juri yang duduk di muka, merasa terkesima seketika. Mereka mendengarkannya dengan seksama. Memaknai setiap ayat yang kulafadzkan.

“Sa nafrughu lakum ayyuhats tsaqalaan. Yaa ma’syara ljinni wal-insi ini istatha’tum an tanfudzuu min aqthaari ssamaawaati wal-ardhi fanfudzuu laa tanfudzuuna illaa bisulthaan. Yaa ma’syaral jinni wal insi inistatha’tum an tanfudzuu min aqthaaris samaawaati wal ardhi fanfudzhuu laa tanfudzuuna illaa bi sulthaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Yursalu ‘alaikumaa syuaazhum min naariw wa nuhaasun fa laa tantashiraan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fa idzan syaqqatis samaa-u fa kaanat wardatan kad dihaan.Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fa yauma-idzil laa yus-alu ‘andzambihii insuw wa laa jaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Yu’raful mujrimuuna bi siimaahum fa yu’khadzu bin nawaashii wal aqdaam. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Haadzihii jahannamul latii yukadzdzibu bihal mujrimuun. Yathuufuuna bainahaa wa baina hamiimin aan.”

Sekali lagi, mataku masih terpejam. Aku begitu menghayatinya sekuat tenaga. Setiap ayat yang kuucapkan, setiap makhraj yang kuperhatikan, setiap lafadz yang kubacakan, benar-benar memberikan sebuah kekuatan untukku bertahan.

“Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Wa li man khaafa maqaama rabbihii jannataan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Dzawaataa afnaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihimaa ‘ainaani tajtiyaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihimaa min kulli faakhihatin zaujaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Muttaki-iina ‘ala furusyim bathaa inuhaa min istabraaqiw wa janal jannataini daan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihinna qaashiraatut tharfi lam yathmitshunna insun qablahum wa laa jaann. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Ka annahunnal yaaquutu wal marjaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Hal jazaa-ul ihsaani illal ihsaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Wa min duunihimaa jannataan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Mud-haammataan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihimaa ‘ainaani nadhdhaakhataan.”

Dan, mataku masih terpejam. Dalam gelap pandangan ini, aku dapat melihat perjalanan panjang ibu yang senantiasa ia lakukan untukku. Jerih payah usaha yang selalu ia lakukan, ribuan nasehat yang ia berikan, semangat membara yang selalu ia tunjukkan, semua terbayang seketika. Aku dapat merasakan betapa besar pengorbanannya. Dan kali ini, aku harus membalasnya.

“Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihimaa faakihatuw wa nakhluw wa rummaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Fiihinna khairaatun hisaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Huuruum maqshuuraatum fil khiyaam. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Lam yathmits-hunna insun qablahum wa laa jaann. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Muttaki-iina ‘ala rafrafin khudhriw wa ‘abqariyyin hisaan. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan. Tabaarakasmu rabbika dzil jalali wal ikraam. Sadaqallahhu ‘adzim.”

Aku membuka mata pelan. Benar-benar luar biasa. Sebuah pemandangan yang tiada pernah kukira, kini berada di depan mata. Hampir semua juri mendekat ke arahku, memberikan selamat dengan mata yang berkaca-kaca. Diiringi oleh tepuk tangan yang membelah hall ini, aku mendapatkan nilai tertinggi untuk lomba ini.

Aku menangis bahagia. Aku telah memenangkannya. Aku berhasil. Dan itu adalah anugerah terbaik yang pernah Allah berikan se umur hidupku. Untuk ibu, aku berhasil melakukannya.

Jazakallah khairan ktsira atas semua yang telah diberikan untuk saya. Untuk bapak ibu dewan juri yang telah memberikan nilai terbaik untuk saya, untuk para hadirin yang telah berkenan memberikan vote untuk saya dan untuk teman-teman yang senantiasa mendukung saya, terima kasih untuk semua apresiasi yang telah kalian berikan. Saya tidak akan pernah bisa melakukannya tanpa kalian. Nun walqolami wamaa yasthuruun.”

Aku melangkah pelan meninggalkan podium. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu sangat bahagia. Allah, terima kasih atas kebahagiaan tak terkira yang Engkau berikan padaku. Ar Rahman untuk ibu, aku mempersembahkannya.

*  Cerpen Terbaik dalam Lomba Menulis Cerpen Konpida XVIII PW IPM DIY Dewi Apriani – PC IPM Imogiri