“Biarlah
aku mendekap rapat perasaanku hingga Allah mengizinkan kita untuk bertemu dalam
sebuah ikatan yang lebih dihalalkan. Namun jika memang engkau bukan tercatat
untukku, kan ku ikhlaskan waktu menghapus cinta dalam diamku padamu.”
Aku duduk
terpekur di tempat ini. Hatiku terasa begitu gelisah menatap handphone yang
sama sekali tiada berbunyi. Entah mengapa perasaan itu muncul begitu saja menyelimutiku
sekarang, saat ku tersadar bahwa dia tidak akan mungkin menghubungiku lagi. Ada
rasa sesal yang terbesit karena masalah baru saja ku alami. Berat rasanya
melakukan semua ini. Bayang-bayang laki-laki itu selalu saja menari-nari dalam benakku.
Sekali dua kali, ia tak pernah bisa ku hapuskan. Bahkan hati ini tak sanggup
untuk menepisnya. Tapi apa mau dikata. Semua memang harusku lakukan sekarang, demi
kebaikan antara aku dan dia.
Aku bukanlah sesosok gadis yang
memiliki sikap sempurna. Aku terlalu lemah, sangat pasrah, memiliki ego yang
rendah dan tidak bisa mengambil jalan keluar dalam setiap permasalahan yang ku
hadapi, termasuk masalah pribadiku yang satu ini. Entah mengapa aku belum bisa
mensikapinya dengan baik.
Aku terus mendesah atas keputusan
yang baru saja ku ambil ini. Hatiku begitu bimbang untuk meninjaunya kembali.
Aku berusaha mengadukan permasalahan ini pada Nya tiada henti. Bahkan pasrahnya
sikap ini membuat aku menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Mungkinkah keputusan ini
adalah benar? Atau aku justru salah dalam melangkah?
“Adrian, aku tidak tahu lagi harus
berbuat apa untuk menghadapi masalah ini. Semua begitu terasa berat bagiku. Aku
tidak tahu apakah keputusan ku ini tepat atau tidak, namun aku harus melakukan
ini, demi kebaikan kita berdua. Maafkan aku, bukan maksud ku untuk memutuskan
kedekatan kita secara sepihak, tapi aku melakukan semua ini hanya ingin yang
terbaik. Dan inilah satu-satunya jalan yang harus kita lakukan untuk saat ini.
Tentu aku tahu jika kita saling
memiliki rasa satu sama lain. Tapi aku tidak bisa melanjutkan kedekatan ini
lebih jauh. Aku terlalu takut pada Allah. Aku takut semua ini justru akan
menjadi mudharat bagi kita, mendekatkan kita pada pintu zina, karena
bagaimanapun juga tidak ada yang menjamin bahwa kita akan baik-baik saja ke
depannya.
Aku berharap kau mengerti dan aku
yakin kaupun memahami keadaan ini. Bukan atas nama pemutusan ukhwah yang
sekarang aku lakukan, tapi atas nama penjagaan diri dan kehormatan. Maafkan aku jika ini menyakitkanmu. Tapi sungguh, aku tak bisa.
Aku tak bisa untuk bertahan dan melanjutkannya. Maaf.” Sepintas, ucapan itu
kembali terbayang dalam pikiranku.
Ada sedikit rasa bersalah atas apa
yang telah aku putuskan terkait dengan masalah besar itu. Faktanya aku merasa
telah menyakiti perasaan Adrian. Tentu saja. Namun, apa yang dapat aku lakukan
sekarang? Tidak ada. Aku hanya bisa terdiam pasrah dan menerimanya ikhlas tanpa
bisa berbuat apapun juga.
Aku menghela nafas panjang
memikirkan hal itu. Penat. Bahkan kata-kata ini tak mampu lagi untuk
mengutarakannya. Terlalu absurb untuk di jelaskan. Terlalu sulit untuk
dilukiskan. Sesaat ku alihkan pandanganku ke luar jendela yang menjuntang ke
bawah, berusaha mencari suasana baru yang bisa mengalihkan perhatianku
tentangnya.
Sang hujan masih membungkus kota ini.
Hampir dua jam ia bertahan dengan suasana yang kelam. Jalanan penuh dengan
genangan air yang menggenang. Di luar sana aku bisa melihat dengan jelas lalu
lalang kendaraan yang terlihat macet di sana sini. Beberapa orang berlari kecil
mencari tempat untuk berteduh. Ojek payung tiada berhenti menawarkan jasanya
pada perorangan yang sedang turun dari angkutan umum. Aku dapat menyaksikan
episode kehidupan itu dari kamar ini, memandang bebas jalanan yang tak bertepi.
Sungguh, tidak seperti biasanya aku menyendiri seperti ini, merasakan kegalauan
hati yang teramat sangat mendalam, terlebih hanya untuk menanti sebuah deringan
handphone darinya.
“Masih
bertahan juga di tempat ini? Betah sekali. Aku pikir kamu akan membiarkan aku
untuk menjelajahi kamarmu sekehendak hati, ternyata tidak. Bagaimanapun juga
tidak sopan rasanya jika melakukan itu sementara masih ada penunggunya, iya
kan?” sapa Isa bergurau pelan. Ia mengambil posisi duduk tepat disampingku.
Pandangan gadis itu turut menatap suasana luar yang masih di guyur hujan.
Semilir angin malam yang berhembus menambah dingin suasana di antara kami.
Sekilas kulihat gadis itu memasang senyum renyah padaku. Tatapan kami bertemu
untuk sesaat. Aku hanya menyambutnya dengan pandangan datar. Tiada ekspresi
yang bisa ku sunggingkan di hadapannya.
“Akhwat yang salihah itu tidak baik
menenggelamkan diri dalam larut kesedihan,” lanjut Isa kemudian. Aku terdiam
mendengar kata-katanya. Entah mengapa ia selalu bisa membaca hati dan
pikiranku.
“Kamu tahu apa yang aku pikirkan,
Sa?” tanyaku menguji.
“Tentu saja aku tahu. Pasti tentang
Adrian lagi kan? Aku pikir mungkin saat ini kamu sedang menunggu sms atau
telepon darinya, bukankah begitu?”
Aku mengangguk pelan, mengiyakan.
Perasaannku mendadak kelu saat mengingat kembali tentangnya.
“Aku sudah memutuskan untuk
mengakhiri kedekatanku dengan Adrian. Tapi entah mengapa hati ini masih merasa
berat untuk menghapus perasaan yang tertanam untuknya. Aku belum bisa
sepenuhnya berhenti memikirkan dia. Bahkan setiap hal yang aku lakukan,
bayang-bayang tentangnya selalu saja hadir mengusik pikiranku. Kau bisa lihat
kan apa yang aku lakukan sekarang, cuma berdiam sendiri dengan kegalauan yang
tidak jelas.”
“Aku sangat mengerti bagaimana
perasaan kamu saat ini. Melupakan memang tidak semudah dengan membangun.
Pastinya terasa berat untuk menepiskan semua itu. Bahkan aku sangsi kalau satu
hari tidak akan cukup bagimu untuk membuat semua itu terhapuskan. Buktinya saja
kamu masih menunggu dia menghubungi kamu atau tidak. Tapi yakinlah waktu akan
selalu ada untuk membantu kamu. Serahkan segala permasalahan ini pada Allah.
Aku yakin, cepat atau lambat kau akan bisa dan terbiasa dengan semua ini,
karena hanya pada Allah lah semua dapat diperhitungkan. Aku pikir kamu sudah
melakukan hal terbaik dengan memilih jalan ini, jadi optimislah bahwa jalan
keluar selalu ada buat kamu.”
“Apakah itu artinya aku harus
memangkas paksa perasaanku padanya?”
“Buat apa? Tidak perlu sampai sejauh
itu, Ka. Kamu tidak harus memangkas perasaanmu sendiri, tapi cukup menyimpannya
dalam hati, atau menundanya terlebih dahulu sampai tiba waktu yang tepat untuk
mengutarakannya dalam ikatan yang di ridhai oleh Allah yaitu pernikahan.
Bukankah islam mengajarkan kita seperti itu? Mencintai dalam diam dan mendoakan
dari kejauhan?”
“Lalu apa yang harus aku lakukan
untuk menepis semua itu, Sa? Aku masih merasa berat buat move on dari perasaan ini. Tentu kamu tahu bagaimana aku dan
perasaanku.”
“Bersabar dalam doa, mungkin itu
kata yang harus selalu kamu ingat setiap saat, Ka. Bersama dengan waktu, kau
pasti akan bisa melakukannya. Ingatlah bahwa bisa itu karena terbiasa. Cobalah
berfikir secara jernih, waktumu tidak akan pernah berhenti jika kamu terus
menunggu suatu hal yang secara jelas itu sangat merugikanmu. Kau harus tahu,
bahwa waktu itu akan berputar dan terus berputar, meskipun kamu tidak
mendapatkan sms ataupun telepon darinya. Biarkan lah saja keadaan seperti ini.
Atau bahkan jika perlu tidak berhubungan dekat lagi dengannya. Jadi kenapa kamu
harus rela menghabiskan waktumu yang begitu berharga hanya untuk menggalau
karena hal-hal kecil yang benar-benar tidak bermanfaat buat kamu?
Mungkin untuk saat ini perasaan galau sangat
membebani kamu. Aku tahu dan sangat mengerti dengan keadaan itu. Tapi apakah
kamu tidak berfikir juga bahwa apa yang kamu perjuangkan ini benar-benar tak
ada apa-apanya di mata Allah. Bukan maksudku untuk menceramahi atau mengadili
kamu, tapi kenyataanlah yang menunjukkan demikian. Kamu berusaha keras
memikirkan segala tentangnya, berasumsi dengan perasaan-perasaan tidak jelas
yang mungkin dia sendiri tidak bisa merasakannya, bahkan sekarang kau justru
terjebak dalam jurang perasaan dengannya. Apakah semua ini baik? Tidak kan.
Lihat saja dirimu sekarang. Apa kau terlihat baik-baik saja? Tidak.
Pikirkan ini baik-baik, Ka. Masih
ada banyak hal yang lebih penting dari semua itu. Jadi untuk apa kamu bersusah
payah memikirkan perasaanmu yang sama sekali tidak jelas? Dia bukan siapa-siapa
kan? Oke lah. Mungkin dia adalah orang
yang berarti buat kamu, dan aku tahu itu. Tapi selagi belum ada ikatan halal,
lebih baik berusaha untuk menepisnya. Kalaupun jodoh, Allah pasti akan
menjaganya untukmu. Namun kalau enggak, Allah pasti akan menggantikannya yang
lebih baik. Jangan takut kehilangan dia, karena itu lebih baik daripada
kehilangan Yang Maha Kuasa. Apa salahnya berkhuznudon sama Allah? Bukankah Dia
sudah mengatur semuanya? Jodoh, harta, anak, semua sudah diatur oleh-Nya. Lagipula
apa kamu tidak merasa kasihan dengan calon suamimu kelak. Mungkin saja kan dia
sedang berusaha untuk menjadi sosok laki-laki tanggung jawab yang bisa disebut
imam, sementara kamu, maaf, malah memikirkan perasaanmu dengan laki-laki lain
yang belum tentu ini menjadi suami kamu. Bagaimana nanti kamu mempertanggungjawabkannya?
Ingat, Ka, hati dan perasaan itu tidak selamanya benar selama ada di jalan yang
salah.
Aku
mengatakan semua ini bukan berarti untuk menyudutkan kamu, Ka. Aku hanya ingin
kamu tahu bagaimana mensikapinya dengan bijaksana. Jujur, aku pernah berada
dalam posisi kamu, seperti sekarang ini. Tapi aku langsung tersadar bahwa apa
yang aku lakukan itu adalah salah. Jadi aku pikir lebih baik aku mengatakan
solusi yang aku tempuh untuk menghadapi semua itu.”
“Tidak
semudah itu, Sa. Ada beberapa hal yang tak kau mengerti tentang perasaanku. Aku
tahu teori yang kamu sampaikan itu benar, tapi prakteknya? Semua itu tidak
sepadan dan selaras seperti apa yang kau sampaikan.”
“Aku
mengerti, Ka. Sangat mengerti. Dan kamu benar, semua itu butuh proses, tidak
semudah seperti kita mengembalikan telapak tangan. Tidak semudah seperti
penjumlahan, pengurangan, perkalian atau bahkan pembagian. Tidak semudah itu. Melupakan
seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidup kita memang suatu hal yang
sulit untuk dilakukan, apalagi sampai ada perasaan yang timbul karena semua
itu. Aku sangat yakin, akan butuh waktu lama untuk dapat menghapuskannya. Dalam
kondisi seperti ini yang kamu butuhkan hanyalah bersabar dan terus bersabar, Ka.
Percayalah, seiring berjalannya waktu, semua itu akan bisa teratasi. Jika kamu
memiliki keinginan yang kuat untuk melupakannya karena suatu kebaikan, aku
yakin kamu bisa. Pahamilah semua ini baik-baik. Biarkan saja perasaanmu
mengalir tiada batas, hingga akhirnya terbias dengan sendirinya.”
Aku
terdiam untuk kesekian kalinya. Mungkin, Isa benar. Aku terlalu dalam terjebak dengan perasaan ini. Bahkan aku
terlalu memikirkan perasaan yang belum jelas kedepannya.
“Iya, Sa. Aku mengerti dengan yang
kamu maksudkan. Aku akan memikirkan semua itu baik-baik.”
“Nah, gitu dong. Berusahalah untuk
ikhlas demi kebaikan. Udah putusin aja!” ujar Isa tersenyum. Ia membelai bahuku
dengan lembut. Kurasakan sentuhan ketulusan dari lubuk hatinya yang terdalam.
Ya, ketulusan seorang sahabat yang tak pernah pudar dengan segala permasalahan
yang ada.
Mungkin, inilah jalan yang terbaik
untukku, memutuskan hubungan dengan Adrian. Meski rasaku masih bertahan
untuknya, namun kuyakin Allah pasti kan membantuku menyelesaikan semua
ini. Kan ku biarkan Dia mengambil alih
penjaga hatiku.
“Ketika aku tak lagi dekat
denganmu, maka mengertilah perasaanku. Karena aku akan menyimpan semua rasaku dalam
tiap untaian doaku.”
***
*Cerpen pilihan edisi terbit : Terbit di Majalah Nur Hidayah, Surakarta Edisi Agustus 2013
Dewi Apriani - Sekertaris Bidang PIPSI - PC IPM Imogiri
Dewi Apriani - Sekertaris Bidang PIPSI - PC IPM Imogiri