Udah Putusin Aja ! - Cerpen





“Biarlah aku mendekap rapat perasaanku hingga Allah mengizinkan kita untuk bertemu dalam sebuah ikatan yang lebih dihalalkan. Namun jika memang engkau bukan tercatat untukku, kan ku ikhlaskan waktu menghapus cinta dalam diamku padamu.”


Aku duduk terpekur di tempat ini. Hatiku terasa begitu gelisah menatap handphone yang sama sekali tiada berbunyi. Entah mengapa perasaan itu muncul begitu saja menyelimutiku sekarang, saat ku tersadar bahwa dia tidak akan mungkin menghubungiku lagi. Ada rasa sesal yang terbesit karena masalah baru saja ku alami. Berat rasanya melakukan semua ini. Bayang-bayang laki-laki itu selalu saja menari-nari dalam benakku. Sekali dua kali, ia tak pernah bisa ku hapuskan. Bahkan hati ini tak sanggup untuk menepisnya. Tapi apa mau dikata. Semua memang harusku lakukan sekarang, demi kebaikan antara aku dan dia.
Aku bukanlah sesosok gadis yang memiliki sikap sempurna. Aku terlalu lemah, sangat pasrah, memiliki ego yang rendah dan tidak bisa mengambil jalan keluar dalam setiap permasalahan yang ku hadapi, termasuk masalah pribadiku yang satu ini. Entah mengapa aku belum bisa mensikapinya dengan baik.
Aku terus mendesah atas keputusan yang baru saja ku ambil ini. Hatiku begitu bimbang untuk meninjaunya kembali. Aku berusaha mengadukan permasalahan ini pada Nya tiada henti. Bahkan pasrahnya sikap ini membuat aku menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Mungkinkah keputusan ini adalah benar? Atau aku justru salah dalam melangkah?
“Adrian, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghadapi masalah ini. Semua begitu terasa berat bagiku. Aku tidak tahu apakah keputusan ku ini tepat atau tidak, namun aku harus melakukan ini, demi kebaikan kita berdua. Maafkan aku, bukan maksud ku untuk memutuskan kedekatan kita secara sepihak, tapi aku melakukan semua ini hanya ingin yang terbaik. Dan inilah satu-satunya jalan yang harus kita lakukan untuk saat ini.
Tentu aku tahu jika kita saling memiliki rasa satu sama lain. Tapi aku tidak bisa melanjutkan kedekatan ini lebih jauh. Aku terlalu takut pada Allah. Aku takut semua ini justru akan menjadi mudharat bagi kita, mendekatkan kita pada pintu zina, karena bagaimanapun juga tidak ada yang menjamin bahwa kita akan baik-baik saja ke depannya.
Aku berharap kau mengerti dan aku yakin kaupun memahami keadaan ini. Bukan atas nama pemutusan ukhwah yang sekarang aku lakukan, tapi atas nama penjagaan diri dan kehormatan. Maafkan aku jika ini menyakitkanmu. Tapi sungguh, aku tak bisa. Aku tak bisa untuk bertahan dan melanjutkannya. Maaf.” Sepintas, ucapan itu kembali terbayang dalam pikiranku.
Ada sedikit rasa bersalah atas apa yang telah aku putuskan terkait dengan masalah besar itu. Faktanya aku merasa telah menyakiti perasaan Adrian. Tentu saja. Namun, apa yang dapat aku lakukan sekarang? Tidak ada. Aku hanya bisa terdiam pasrah dan menerimanya ikhlas tanpa bisa berbuat apapun juga.
Aku menghela nafas panjang memikirkan hal itu. Penat. Bahkan kata-kata ini tak mampu lagi untuk mengutarakannya. Terlalu absurb untuk di jelaskan. Terlalu sulit untuk dilukiskan. Sesaat ku alihkan pandanganku ke luar jendela yang menjuntang ke bawah, berusaha mencari suasana baru yang bisa mengalihkan perhatianku tentangnya.
Sang hujan masih membungkus kota ini. Hampir dua jam ia bertahan dengan suasana yang kelam. Jalanan penuh dengan genangan air yang menggenang. Di luar sana aku bisa melihat dengan jelas lalu lalang kendaraan yang terlihat macet di sana sini. Beberapa orang berlari kecil mencari tempat untuk berteduh. Ojek payung tiada berhenti menawarkan jasanya pada perorangan yang sedang turun dari angkutan umum. Aku dapat menyaksikan episode kehidupan itu dari kamar ini, memandang bebas jalanan yang tak bertepi. Sungguh, tidak seperti biasanya aku menyendiri seperti ini, merasakan kegalauan hati yang teramat sangat mendalam, terlebih hanya untuk menanti sebuah deringan handphone darinya.
            “Masih bertahan juga di tempat ini? Betah sekali. Aku pikir kamu akan membiarkan aku untuk menjelajahi kamarmu sekehendak hati, ternyata tidak. Bagaimanapun juga tidak sopan rasanya jika melakukan itu sementara masih ada penunggunya, iya kan?” sapa Isa bergurau pelan. Ia mengambil posisi duduk tepat disampingku. Pandangan gadis itu turut menatap suasana luar yang masih di guyur hujan. Semilir angin malam yang berhembus menambah dingin suasana di antara kami. Sekilas kulihat gadis itu memasang senyum renyah padaku. Tatapan kami bertemu untuk sesaat. Aku hanya menyambutnya dengan pandangan datar. Tiada ekspresi yang bisa ku sunggingkan di hadapannya.
“Akhwat yang salihah itu tidak baik menenggelamkan diri dalam larut kesedihan,” lanjut Isa kemudian. Aku terdiam mendengar kata-katanya. Entah mengapa ia selalu bisa membaca hati dan pikiranku.
“Kamu tahu apa yang aku pikirkan, Sa?” tanyaku menguji.
“Tentu saja aku tahu. Pasti tentang Adrian lagi kan? Aku pikir mungkin saat ini kamu sedang menunggu sms atau telepon darinya, bukankah begitu?”
Aku mengangguk pelan, mengiyakan. Perasaannku mendadak kelu saat mengingat kembali tentangnya.
“Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri kedekatanku dengan Adrian. Tapi entah mengapa hati ini masih merasa berat untuk menghapus perasaan yang tertanam untuknya. Aku belum bisa sepenuhnya berhenti memikirkan dia. Bahkan setiap hal yang aku lakukan, bayang-bayang tentangnya selalu saja hadir mengusik pikiranku. Kau bisa lihat kan apa yang aku lakukan sekarang, cuma berdiam sendiri dengan kegalauan yang tidak jelas.”
“Aku sangat mengerti bagaimana perasaan kamu saat ini. Melupakan memang tidak semudah dengan membangun. Pastinya terasa berat untuk menepiskan semua itu. Bahkan aku sangsi kalau satu hari tidak akan cukup bagimu untuk membuat semua itu terhapuskan. Buktinya saja kamu masih menunggu dia menghubungi kamu atau tidak. Tapi yakinlah waktu akan selalu ada untuk membantu kamu. Serahkan segala permasalahan ini pada Allah. Aku yakin, cepat atau lambat kau akan bisa dan terbiasa dengan semua ini, karena hanya pada Allah lah semua dapat diperhitungkan. Aku pikir kamu sudah melakukan hal terbaik dengan memilih jalan ini, jadi optimislah bahwa jalan keluar selalu ada buat kamu.”
“Apakah itu artinya aku harus memangkas paksa perasaanku padanya?”
“Buat apa? Tidak perlu sampai sejauh itu, Ka. Kamu tidak harus memangkas perasaanmu sendiri, tapi cukup menyimpannya dalam hati, atau menundanya terlebih dahulu sampai tiba waktu yang tepat untuk mengutarakannya dalam ikatan yang di ridhai oleh Allah yaitu pernikahan. Bukankah islam mengajarkan kita seperti itu? Mencintai dalam diam dan mendoakan dari kejauhan?”
“Lalu apa yang harus aku lakukan untuk menepis semua itu, Sa? Aku masih merasa berat buat move on dari perasaan ini. Tentu kamu tahu bagaimana aku dan perasaanku.”
“Bersabar dalam doa, mungkin itu kata yang harus selalu kamu ingat setiap saat, Ka. Bersama dengan waktu, kau pasti akan bisa melakukannya. Ingatlah bahwa bisa itu karena terbiasa. Cobalah berfikir secara jernih, waktumu tidak akan pernah berhenti jika kamu terus menunggu suatu hal yang secara jelas itu sangat merugikanmu. Kau harus tahu, bahwa waktu itu akan berputar dan terus berputar, meskipun kamu tidak mendapatkan sms ataupun telepon darinya. Biarkan lah saja keadaan seperti ini. Atau bahkan jika perlu tidak berhubungan dekat lagi dengannya. Jadi kenapa kamu harus rela menghabiskan waktumu yang begitu berharga hanya untuk menggalau karena hal-hal kecil yang benar-benar tidak bermanfaat buat kamu?
 Mungkin untuk saat ini perasaan galau sangat membebani kamu. Aku tahu dan sangat mengerti dengan keadaan itu. Tapi apakah kamu tidak berfikir juga bahwa apa yang kamu perjuangkan ini benar-benar tak ada apa-apanya di mata Allah. Bukan maksudku untuk menceramahi atau mengadili kamu, tapi kenyataanlah yang menunjukkan demikian. Kamu berusaha keras memikirkan segala tentangnya, berasumsi dengan perasaan-perasaan tidak jelas yang mungkin dia sendiri tidak bisa merasakannya, bahkan sekarang kau justru terjebak dalam jurang perasaan dengannya. Apakah semua ini baik? Tidak kan. Lihat saja dirimu sekarang. Apa kau terlihat baik-baik saja? Tidak.
Pikirkan ini baik-baik, Ka. Masih ada banyak hal yang lebih penting dari semua itu. Jadi untuk apa kamu bersusah payah memikirkan perasaanmu yang sama sekali tidak jelas? Dia bukan siapa-siapa kan? Oke lah. Mungkin dia  adalah orang yang berarti buat kamu, dan aku tahu itu. Tapi selagi belum ada ikatan halal, lebih baik berusaha untuk menepisnya. Kalaupun jodoh, Allah pasti akan menjaganya untukmu. Namun kalau enggak, Allah pasti akan menggantikannya yang lebih baik. Jangan takut kehilangan dia, karena itu lebih baik daripada kehilangan Yang Maha Kuasa. Apa salahnya berkhuznudon sama Allah? Bukankah Dia sudah mengatur semuanya? Jodoh, harta, anak, semua sudah diatur oleh-Nya. Lagipula apa kamu tidak merasa kasihan dengan calon suamimu kelak. Mungkin saja kan dia sedang berusaha untuk menjadi sosok laki-laki tanggung jawab yang bisa disebut imam, sementara kamu, maaf, malah memikirkan perasaanmu dengan laki-laki lain yang belum tentu ini menjadi suami kamu. Bagaimana nanti kamu mempertanggungjawabkannya? Ingat, Ka, hati dan perasaan itu tidak selamanya benar selama ada di jalan yang salah.
            Aku mengatakan semua ini bukan berarti untuk menyudutkan kamu, Ka. Aku hanya ingin kamu tahu bagaimana mensikapinya dengan bijaksana. Jujur, aku pernah berada dalam posisi kamu, seperti sekarang ini. Tapi aku langsung tersadar bahwa apa yang aku lakukan itu adalah salah. Jadi aku pikir lebih baik aku mengatakan solusi yang aku tempuh untuk menghadapi semua itu.”
            “Tidak semudah itu, Sa. Ada beberapa hal yang tak kau mengerti tentang perasaanku. Aku tahu teori yang kamu sampaikan itu benar, tapi prakteknya? Semua itu tidak sepadan dan selaras seperti apa yang kau sampaikan.”
            “Aku mengerti, Ka. Sangat mengerti. Dan kamu benar, semua itu butuh proses, tidak semudah seperti kita mengembalikan telapak tangan. Tidak semudah seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian atau bahkan pembagian. Tidak semudah itu. Melupakan seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidup kita memang suatu hal yang sulit untuk dilakukan, apalagi sampai ada perasaan yang timbul karena semua itu. Aku sangat yakin, akan butuh waktu lama untuk dapat menghapuskannya. Dalam kondisi seperti ini yang kamu butuhkan hanyalah bersabar dan terus bersabar, Ka. Percayalah, seiring berjalannya waktu, semua itu akan bisa teratasi. Jika kamu memiliki keinginan yang kuat untuk melupakannya karena suatu kebaikan, aku yakin kamu bisa. Pahamilah semua ini baik-baik. Biarkan saja perasaanmu mengalir tiada batas, hingga akhirnya terbias dengan sendirinya.”
            Aku terdiam untuk kesekian kalinya. Mungkin, Isa benar. Aku terlalu dalam  terjebak dengan perasaan ini. Bahkan aku terlalu memikirkan perasaan yang belum jelas kedepannya.
“Iya, Sa. Aku mengerti dengan yang kamu maksudkan. Aku akan memikirkan semua itu baik-baik.”
“Nah, gitu dong. Berusahalah untuk ikhlas demi kebaikan. Udah putusin aja!” ujar Isa tersenyum. Ia membelai bahuku dengan lembut. Kurasakan sentuhan ketulusan dari lubuk hatinya yang terdalam. Ya, ketulusan seorang sahabat yang tak pernah pudar dengan segala permasalahan yang ada.
Mungkin, inilah jalan yang terbaik untukku, memutuskan hubungan dengan Adrian. Meski rasaku masih bertahan untuknya, namun kuyakin Allah pasti kan membantuku menyelesaikan semua ini.  Kan ku biarkan Dia mengambil alih penjaga hatiku.

“Ketika aku tak lagi dekat denganmu, maka mengertilah perasaanku. Karena aku akan menyimpan semua rasaku dalam tiap untaian doaku.”

***

*Cerpen pilihan edisi terbit : Terbit di Majalah Nur Hidayah, Surakarta Edisi Agustus 2013

Dewi Apriani - Sekertaris Bidang PIPSI - PC IPM Imogiri