Pesan dari Kakek - Cerpen




"Tidak ada rahasia untuk menjadi sukses.itu merupakan hasil dari persiapan,kerja keras dan belajar dari kegagalan" - Colin powell -
  
”Kegagalan bukan merupakan akhir dari perjuangan, tetapi merupakan jalan untuk menggapai tujuan” -  Danu - 
 
Seperti inilah senja yang biasa ku nikmati. Semburatnya melukiskan warna di angkasa. Sepercik sinar matahari yang berada di batas garis cakrawala seakan tak ingin pergi tanpa kesan yang mendalam. Ia begitu sempurna mewarnai langit dengan awan-awan yang tak beraturan, membentuk barisan yang terlihat artistik dan mempesona. Warna biru yang biasanya mendominasi langit di siang hari pun, telah berubah dengan gradasi warna yang menjingga.
Dan kini aku kembali menikmati senja. Ia tetap setia menggelayut di angkasa seperti biasanya. Lebih tepatnya di atas perbukitan ini. Ia tak pernah mengkhianati waktu yang seakan hendak memberi sebuah harapan bagi yang memandang. Segores awan yang senantiasa setia menemani senja yang menggelayut manja itu, membuat langit tak lagi sejuk dengan birunya, namun indah dengan jingganya. Jingga yang sama saat aku menikmati senja di sini, di hamparan bukit hijau di tepi pedesaan Banguntapan.

.”Dan, kamu di panggil kakek, tuh,” tegur Putra, sepupuku. Lamunanku buyar seketika ia menyapaku. Ku lihat ia berlalu begitu saja setelah menyampaikan pesan itu padaku. Aku menghela nafas panjang. Pandanganku beralih pada angkasa yang kini menitipkan salam senja untukku, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
***

            Aku terdiam di sudut ruangan ini. Pandangan ku tetap tertunduk dan tak ada ubahnya dengan keadaan sepuluh menit yang lalu. Bahkan tubuh ku tiba-tiba terbujur kaku tanpa bisa tergerak sedikitpun. Entah mengapa perasaan ku berubah dingin, terhitung semenjak aku memasuki ruangan ini, tepat pada saat aku berada di hadapan kakek. Ya, sosok laki-laki berperawakan tegas itu sedang menatapku tajam.
Brukkk ....
            Aku tersentak kaget. Kakek membanting raportku dengan keras. Dan kini benda bersampul biru itu telah jatuh dihadapanku. Dengan sedikit keberanian, aku mencoba untuk menatap beliau meski sekilas. Terbaca olehku seraut amarah yang tertahan dari raut wajahnya.
            “Kakek kecewa sama kamu, Danu. Semakin lama peringkat kamu semakin turun,” tegas kakek mengawali pembicaraan ini. Pernyataan pertama yang beliau tuturkan benar-benar sangat menjatuhkan ketegaranku.
            “Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, kek. Dan itu adalah hasilnya,” jawabku lirih. Aku tetap berusaha untuk menata hati yang semakin tak  menentu ini.
            “Kamu pikir dengan hasil yang seperti itu, bisa kamu katakan maksaimal, begitu?”
            ”Tapi, kek.....”
            “Tapi apa? Kamu mau mencari alasan lagi untuk membantah semua ini?”
            Aku terdiam. Tenggorokanku tercekat seketika juga. Tuduhan kakek benar-benar menjatuhkanku dengan sempurna.
            “Sebenarnya Danu tidak bermaksud membantah kakek, apalagi mencari alasan untuk membentengi hal itu,”
            “Lantas bagaimana kamu mempertanggungjawabkan semua itu?”
            Pandangan ku tertunduk. Tak mampu lagi aku menatap wajah kakek yang menyimpan amarah padaku. Bahkan kewibawaan yang selama ini aku lihat darinya terasa sirna seketika.
            “Danu, sejak dulu kamu itu selalu berprestasi di bangku sekolah. Dari SD hingga SMP kamu bisa mendapatkan itu dengan baik. Semua jelas terbukti dengan peringkat kamu yang selalu masuk dalam 5 besar juara kelas. Bahkan kamu bisa mengalahkan teman-teman kamu yang lainnya. Tapi kenapa sekarang kamu tidak bisa mendapatkan itu?”
            “Bukannya tidak bisa kek, tapi aku sudah berusaha keras dan maksimal. Lagipula pembelajaran SD dan SMP sangatlah berbeda dengan pembelajaran SMA. Terlalu banyak saingan di sini. Kakek kan tahu, sekolah yang Danu tempati ini adalah sekolah terbaik se daerah,”
            “Itulah tantangan yang harus kamu hadapi, Danu. Saingan bukan berarti menjadi hambatan untuk bisa mendapatkan yang terbaik kan?”
            Aku tertegun. Apa yang kakek sampaikan membuat hatiku tersentuh. Pikiranku berputar untuk mencoba menemukan jawaban atas pernyataan itu. Kembali ku resapi kata-kata dari beliau, bahwa tantangan harus bisa dihadapi dan di selesaikan.
            “Kakek tahu bagaimana lika-liku perjalanan yang kamu tempuh dalam belajar, Dan. Ibarat roda yang berputar, sekarang ini kamu berada di bawah. Benar-benar terpuruk dengan nilai yang seperti ini,” lanjutnya menasehati.
            “Kalau di katakan terpuruk, Danu rasa itu terlalu berlebihan, kek, karena sebenarnya nilai yang Danu dapatkan itu sudah lebih baik daripada yang kemarin, meskipun hanya naik berapa angka saja,” aku berusaha membela diri dengan tetap menjaga kerendahhatianku di hadapan kakek.
            “Bagi kakek, itu sama saja, tak ada ubahnya,”
            Aku menghela nafas panjang. Laki-laki yang biasa ku panggil kakek itu beralih menatapku dalam. Pandangannya terlihat berbeda dengan yang tadi aku lihat. Bahkan, kini aku mampu untuk membalas tatapannya.
            “Sebenarnya kakek tidak bermaksud memarahi kamu, Dan. Apa yang kakek sampaikan ini untuk kebaikan kamu juga. Kakek hanya ingin melihat keberhasilan kamu dalam berpendidikan. Berbekal nilai dan prestasi yang bagus, kamu bisa mendapatkan perguruan tinggi dengan mudah, bahkan bisa masuk tanpa tes.
            Jadikanlah apa yang kamu dapatkan kemarin itu sebagai pembelajaran untuk masa depan yang lebih baik. Dan berjanjilah untuk mulai belajar lebih giat demi keberhasilan kamu,” tutur kakek tersenyum.

***
           
            Aku bersandar di atas sofa. Pandanganku terpejam untuk sesaat. Rasa lelah yang kurasakan sekarang benar-benar membuat kepalaku semakin terasa berat. Entah mengapa pikiranku kembali teralih pada nasehat kakek yang tadi beliau sampaikan padaku. Hampir sepersekian menit aku merenungi semua itu, hingga kehadiran ibu membuat aku tersadar untuk segera bangun dari lamunanku.
            “Danu, kenapa muka kamu kusut begitu? Apa yang terjadi?” tanya ibu. Beliau menghampiriku yang sedang melepas lelah di ruang tengah.
            “Habis dapat ceramah dari kakek, bu,” jawabku lirih. Aku tertunduk dalam diam.
            “Apa ini berkaitan dengan nilai raport kamu?”
            Aku mengangguk pelan. Ku tengadahkan kepalaku untuk menatap ibu. Beliau tersenyum tipis padaku. Jemarinya mengusap kepalaku dengan lembut.
            “Sebenarnya apa yang kakek sampaikan padamu itu juga untuk kebaikan kamu, nak. Beliau hanya ingin melihat kamu berhasil dalam pendidikan dengan kualitas yang baik,”
            “Iya, bu. Danu tahu akan hal itu. Hanya saja ada suatu hal yang sedang Danu pikirkan sekarang,”
            “Apa itu, nak?” tanya ibu heran.
            “Danu bingung bagaimana harus memperbaiki semua ini. Ibu kan tahu sendiri, nilai raport yang Danu dapatkan masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan nilai teman-teman. Bagaimana kalau seandainya Danu tidak di terima di jalur undangan?”
            Ibu terdiam. Perempuan itu beralih dariku. Sepintas ku lihat raut wajahnya berubah iba. Entah mengapa aku merasakan sesuatu yang beliau sembunyikan dariku.
            “Dan, terkait dengan jalur undangan yang kamu ambil, sebenarnya ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan padamu. Tapi sebelumnya ibu minta maaf, bukan maksud ibu untuk membuat kamu berkecil hati,”
            Aku tertegun. Pikiranku menerka-nerka apa yang hendak beliau sampaikan padaku. Tidak seperti biasanya beliau menggunakan intonasi pembicaraan yang serius seperti ini.
            “Ada apa, bu?”
            “Ibu tahu bagaimana usaha kamu untuk mendapatkan peringkat atas di sekolah. Pastinya sangat berat dan butuh perjuangan. Ibu sangat mengerti akan hal itu, Nak. Tapi yang ingin ibu bahas di sini bukanlah tentang itu.
            Sebenarnya ibu dan bapak ingin sekali menyekolahkan kamu setinggi mungkin. Sebagai orang tua, tentu kami ingin melihat kamu berhasil dan sukses dalam pendidikan, namun apalah daya, jika seandainya kamu tidak di terima di jalur undangan ini, ibu berharap kamu tidak kecewa dan patah semangat. Ibu berkata demikian, bukan berarti ibu mengharapkan kamu tidak di terima. Bukan seperti itu. Hanya saja, ibu berusaha untuk menasehati kamu agar kelak tidak ada rasa kecewa yang mendalam.”
            “Iya, bu. Danu mengerti. Danu sudah menyerahkan semua sama Allah. Yang terpenting kan Danu sudah berusaha semaksimal mungkin. Biarlah Allah yang menentukan,”
            “Baguslah kalau begitu. Dan satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, nak. Bapak dan ibu sangat mengharapkan kamu masuk di perguruan tinggi negeri, bukan swasta. Jujur, bapak dan ibu tidak akan sanggup untuk membiayai sekolah kamu jika mengambil langkah di swasta. Kamu sendiri tahu kan bagaimana keadaan ekonomi keluarga kita?”
            Degg.. hatiku tersentak.  Perkataan ibu membuatku merasa jatuh seketika. Bahkan pikiranku kembali tak menentu. Ada sedikit rasa kegelisahan dan keraguan yang tiba-tiba menyusup ke dalam. Entah mengapa aku benar-benar merasa berada di antara dua pilihan yang rumit. Antara di terima atau tidak, aku hanya bisa berserah diri dengan bekal ikhtiar yang telah ku lakukan.
***
           
            Aku terkulai lemas di sudut ruangan ini. Rasa kecewa atas hasil yang ku dapatkan belum bisa aku terima hingga sekarang. Semua seperti mimpi buruk yang hadir merusak kehidupan masa depanku. Sulit rasanya bagiku untuk menghadapi kenyataan pahit yang datang secara tak terduga ini, seperti halnya pengumuman yang tersiarkan dan tak dapat ku prediksi sebelumnya.
            Semua ini benar-benar membuatku putus asa. Bagiku, ini adalah pukulan yang terlalu menyakitkan. Bahkan pukulan yang aku alami ini lebih sakit jika di bandingkan dengan pukulan Putra yang sering ia berikan padaku enam tahun yang lalu.
            Ya, aku telah gagal mendapatkan kesempatan untuk masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan. Bahkan aku sudah menorehkan mimpi buruk atas prestasi yang selama ini aku perjuangkan.
            “Danu, kakek sudah dengar semuanya dari ibu kamu,” kata kakek lirih. Aku menghela nafas panjang. Ku tatap dalam sosok laki-laki berumur itu dengan perasaan iba. Terlihat jelas olehku, rasa perhatian dari raut wajah beliau yang berwibawa.
            “Danu minta maaf, kek,” tuturku pelan. Bahkan aku merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu.
            “Kamu tidak perlu menyesali semua yang sudah terjadi. Bukankah masih ada kesempatan untuk menempuhnya lagi? Kakek hanya berharap kamu mau berusaha sekali lagi untuk mendapatkan itu, Dan. Buatlah bangga kedua orang tuamu. Lakukan yang terbaik selama kamu bisa melakukan itu. Ingatlah, bahwa kamu adalah satu-satunya harapan mereka.”
Aku mendengarkan nasehat kakek dengan seksama. Sekilas bayangan bapak dan ibu terlintas dalam benakku. Entah mengapa aku merasa tak berguna sekarang. Aku bahkan tak bisa membuat bangga kedua orang tuaku sendiri. Seperti ini kah balasanku terhadap mereka?
 “Cucuku, belajarlah filosofi dari pohon pisang. Pohon pisang itu ketika diterpa angin, akan menyobekkan daunnya untuk dapat tetap bertahan. Ia akan selalu melakukan itu agar tidak jatuh ketika diterpa angin kencang sekalipun. Bahkan ia tidak akan mati sebelum berbuah. Barulah setelah ia mati, tumbuh tunas di sekelilingnya yang akan  menggantikannya.”
Aku tertegun. Perumpamaan yang kakek maksudkan dapat ku tangkap dengan baik. Filosofi antara pohon pisang dan aku adalah 2 hal yang keterkaitan dengan perjuangan hidup yang sama. Entah mengapa hatiku semakin terbuka lebar untuk dapat bangkit dari kekecewaan ini. Bahkan kakek telah membayarnya dengan dua lembar kertas merah sebagai penggantinya.
***
Senin, 11 Juli 2012 di gedung Fakultas Hukum lantai III, Universitas Gajah Mada .....
Ini adalah langkah baru ku. Sebuah lembaran baru telah ku buka dengan halaman pertama sebagai perjuangan dalam menempuh ujian. Masa depan yang lebih baik akan aku torehkan hari ini. Dengan bekal doa dan semangat, aku menempuh ujian. Semua sudah ku persiapkan dengan baik. Kekecewaan yang aku alami dua bulan yang lalu harus terbayar lunas hari ini.
***
            “SELAMAT, ANDA DITERIMA”
            Rangkaian kata itu terbaca jelas di layar laptopku. Aku bahkan hampir tidak percaya dengan apa yang sedang ku baca. Semua ini terasa mimpi. Tapi bukan. Ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan. Ya, kenyataan bahwa aku telah berhasil membayar lunas atas kekecewaan ku dulu.
            “Danu, selamat, nak. kamu sudah membuktikannya. Ibu bangga terhadapmu,” tutur ibu lirih. Bahkan baru kali ini aku melihat beliau menangis. Ya, menangis bahagia karena ku.
            “Terima kasih Ya Allah atas kebahagiaan yang telah kau berikan padaku. Sungguh, ini adalah nikmat yang sangat luar biasa selama hidupku. Perjuangan yang aku lakukan telah Kau gantikan dengan keberhasilan ini. Benar pula kata kakek, bahwa tunas ini telah menghasilkan buah yang sangat nikmat,” batinku dalam hati.
***

“Life's full of ups and downs, That's why we need inspirations  from time to time, to remind us about how blessed we are, how much God loves us and  how beautiful this life can be.”



 *Cerpen Terbit di Majalah Geplak 

Dewi Apriani - Sekertaris Bidang PIPSI - PC IPM Imogiri