Valentine’s day, “kasih sayang” yang diformalkan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, diterangkan bahwa Valentaine berarti hari kasih sayang yang berasal dari zaman Romawi.
Menurut The Encyclopaedia Americana, hari Valentine yang dirayakan pada tanggal 14 Februari itu diyakini bertepatan dengan hari dijatuhinya hukuman mati kepada seorang martir Kristen bernama Saint Valentine. Pengertian martir sendiri adalah gelar kehormatan bagi mereka yang menolak untuk meninggalkan agama Kristiani dengan kerelaan untuk mati. Untuk mengenang dan menghormati Saint Valentine, maka setiap tanggal 14 Februari diperingati sebagai hari Valentine.
Sedangkan dalam Webster New Twentieth Century Dictionary Unbridge, diuraikan bahwa tanggal 14 Februari diperingati untuk menghormati seorang martir yang dihukum mati pada abad ke-3 Masehi. Kedua keterangan serupa juga terdapat dalam buku Encyclopaedia Americana edisi tahun 1989, atau dapat pula ditemukan dalam buku The World Book Encyclopaedia.
Memang banyak versi mengenai asal mula dirayakannya Valentine’s Day. Kisah lain menyebutkan, Valentine adalah pendeta yang mengabdi pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Claudius kemudian memenjarakannya karena dia menentang kaisar. Penentangan ini bermula pada saat kaisar berambisi untuk membentuk tentara dalam jumlah yang besar. Dia berharap kaum lelaki untuk secara sukarela bergabung menjadi tentara. Namun banyak yang menolak untuk terjun ke medan perang karena tidak mau meninggalkan keluarganya. Peristiwa ini membuat kaisar naik pitam. Lalu dia menggagas ide “gila” dengan tidak mengijinkan kaum lelaki untuk menikah. Sang kaisar berpikir bahwa jika laki-laki tidak menikah, maka mereka tidak akan segan untuk bergabung menjadi tentara.
Valentine menganggap ide kaisar ini adalah hukum biadab, sehingga Valentine pun menentangnya. Penentangan inilah yang menyeret dirinya ke dalam penjara dan akhirnya dijatuhi hukuman mati pada tanggal 14 Februari 269 M.
Dalam legenda lain disebutkan bahwa Saint Valentine meninggalkan satu catatan selamat tinggal kepada seorang gadis anak sipir penjara yang menjadi temannya. Dalam catatan itu dia menuliskan kalimat “ Love From Your Valentine”.
Bila diteliti lebih jauh sejarahnya, asal muasal Valentine’s day berkaitan pula dengan upacara Lupercalia, yaitu upacara penyembahan Bangsa Romawi terhadap Dewa Lupercus (Dewa Kesuburan) yang biasa mereka selenggarakan setiap tanggal 15 Februari di bukit Palatine. Pada akhir rentetan acar a itu, para gadis meletakkan pesan cinta di dalam jambangan, lalu pesan cinta itu diambil oleh para pemuda. Setelah itu mereka pun berpasangan dan menari bersama yang diakhiri dengan pernikahan.
Pada Februari 494 masehi, Dewan Gereja yang dipimpin oleh Paus Gelasius, kemudian mengubah upacara Lupercalia dengan Purifikasi(pembersihan dosa). Paus Gelasius mengubah pelaksanaan upacara itu dari tanggal 15 menjadi 14 Februari, disesuaikan dengan kematian Saint Valentine.
Akhirnya secara gradual 14 Februari menjadi tanggal saling tukar menukar pesan kasih, dan Saint Valentine menjadi patron dari pada penabur kasih. Tanggal ini ditandai dengan saling mengirim puisi dan hadiah seperti bunga dan gula-gula. Bahkan sering pula ditandai dengan adanya kumpul-kumpul dan pesta dansa.
Bisa kita lihat pada bahasan diatas, Valentine’s Day merupakan peringatan “Cinta kasih” yang di formalkan untuk mengenang sebuah peristiwa kematian seorang pendeta yang dihukum mati, yang kemudian diabadikan oleh gereja lewat tangan Paus Gelasius. Maka sangat tidak pantas jika kaum muslim ikut melestarikan budaya yang sama sekali tidak memiliki ikatan historis, emosional, apalagi relijius dengan agama Islam.
Rosulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia menjadi bagian dari mereka”. (HR. Abu Daud) . Lantas, apakah Islam melarang cinta kasih? Bukankah Islam menganjurkan pemeluknya saling mengasihi satu sama lain?
Islam sendiri adalah agama kasih dan menjunjung cinta pada sesama. Islam sama sekali tidak phobi terhadap cinta. Islam mengakui fenomena cinta yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Namun demikian, Islam tidak menjadikan cinta sebagai komoditas yang rendah dan murahan.
Islam memandang cinta kasih itu sebagai rahmat. Sabda Rosulullah: “Seorang mukmin tidak dianggap beriman sebelum dia berhasil mencintai saudaranya laksana dia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Muslim)
Dimata Islam, mencintai dan dicintai adalah fitrah suci yang harus selalu ditumbuhkan dalam jiwa setiap pemeluknya. Maka itu Islam menghalalkan perkawinan dan bahkan pada tingkat mewajibkn bagi mereka yang mampu. Islam memang tidak pernah “ mengebiri” fitrah manusia.
Dalam Al Quran Allah menegaskan dalam surat At-taubah ayat 24 sebagai berikut: “Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kerabat-kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerusakannya, dan rumah rumah tempat tinggal yang kamu senangi lebih kau cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
Ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa tingkatan cinta pertama adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya yang kemudian disebut dengan cinta hakiki.
Cinta hakiki akan melahirkan pelita. Cinta hakiki yang dilahirkan iman akan senantiasa memberikan kenikmatan-kenikmatan nurani. Cinta hakiki akan melahirkan jiwa rela berkorban dan mampu menundukkan hawa nafsu dan syahwat. Cinta akan menjadi berbinar tatkala orang yang memilikinya mampu menaklukkan segala gejolak dunia.
Maka sudah saatnya bagi remaja muslim untuk membangun benteng-benteng diri yang kokoh. Benteng diri yang sulit ditembus oleh gempuran-gempuran perang pemikiran yang akan mengoyak-ngoyak benteng pertahanan imannya.
Perlawanan ini akan bisa dilakukan jika remaja muslim mampu mendekatkan dirinya pada poros ajaran Islam. Jika begitu, ia akan mampu menjadikan keimanannya “hidup” dan memenangkan pertarungan berat yang dihadapinya. Remaja muslim yang dengan setia menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai pedoman hidupnya akan mampu menjadi seorang muslim tahan banting dan imun terhadap virus budaya global yang mengancam identitasnya. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
Fastabiqul Khairat.
Oleh : Triyantoro Sholeh, S.T.
(Wkl. Sekretaris Bidang Dakwah PW. Pemuda Muhammadiyah DIY)
Disarikan dari buku “Jendela Keluarga” terbitan MQ publishing