Kamis (29/3), Majels Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) menyelenggarakan diskusi terbuka bertajuk “Menata Ulang Indonesia”. Diskusi yang bertempat di lobi gedung PP Muhammadiyah Jl. Cik Di Tiro no. 23 Yogyakarta ini menghadirkan Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, Busyro Muqoddas, dan Dr. Revrisond Baswir sebagai pembicara. Eko Prasetyo, penulis buku orang miskin dilarang sakit, didaulat menjadi moderator dalam diskusi tersebut.
Dalam sambutannya, Dr. H. Haedar Nashir mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini dihadapkan pada berbagai permasalahan yang sangat kompleks. Masalah bangsa, sistem, dan budaya yang akhir-akhir ini terjadi merupakan kompleksitas permasalahan yang menghambat majunya Indonesia. Ia menegaskan bahwa seharusnya masalah-masalah tersebut dijadikan sejarah untuk melangkah kedepan dalam membangun bangsa.
Sebagai keynote speaker, Syafi’i Ma’arif mengatakan, dalam rentang waktu 67 tahun Indonesia merdeka pola pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tidak pernah mengacu pada nilai-nilai luhur pancasila. Oleh karena itu kesenjangan pembangunan semakin lebar, pemerataan kesejahteraan kurang, dan pemenuhan hak-hak rakyat terabaikan. Beliau menyimpulkan bahwa Indonesia masih dalam proses pembentukan karena berasal dari berbagai suku yang disatukan dengan konsep Indonesia.
Banyaknya sumber daya manusia tidak menjamin kemajuan suatu bangsa. Syafi’i menjelaskan, di Indonesia banyak sekolah-sekolah didirikan, punya banyak doktor serta banyak intelektual yang melimpah akan tetapi persoalaan bangsa masih ada. “Hal ini terjadi karena kecerdasan otak tidak diimbangi kecerdasan hati,” ungkapnya.
Dalam sesi diskusi Busyro mengungkapkan, rusaknya Indonesia terjadi karena sebab kausalitas. Partai politik yang seharusnya menjadi wakil dari rakyat justru mecetak kader yang merusak rakyat. Misalnya saja sebuah partai yang memiliki platform partai islam. Tidak relevan antara syari’ah islamiyah yang diusung oleh parpol tersebut dengan sikap politik yang ditunjukkan oleh elit parpol tersebut. “Yang jadi poin penting adalah bisakah kita menata Indonesia apabila kaderisasi generasi penerus dihasilkan oleh parpol-parpol yang tidak sehat?,” ujarnya.
Sebagai aktivis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro menegaskan bahwa parpol sebagai pilar demokrasi fungsinya mulai dilemahkan. Pihak-pihak yang ada di dalam hanya berpikir pragmatis ketika menjadi pimpinan. Pihak-pihak tersebut tidak menutup kemungkinan terkait dengan orang yang memiliki kepentingan tertentu dibalik penempatan tokoh di sebuah partai. “Ketika seorang pemimpin di-backing-i oleh cukong, maka pemimpin yang sebenarnya adalah cukong tersebut,” tambahnya.
Lain halnya dengan Revrisond Baswir, sebagai ahli ekonomi, dia mengungkapkan bahwa ketika kita bicara tentang korupsi, ketidak merataan, dll, sebelumnya harus ada pertanyaan besar bagaimana pemerintah mengelola alat-alat produksi yang dimiliki. Baik itu laut, darat, migas, dll. “Mestinya kekayaan produksi harus dikuasai oleh negara. Jika tidak (dikuasai negara-red), maka kekayaan tersebut jatuh ke tangan rakyat yang ditindas oleh kekuasaan,” tegasnya.
Revrisond menjelaskan, demokrasi ekonomi belum berdaulat di Indonesia. Dari total perkebunan kelapa sawit yang ada di negeri ini, hanya 7,8 persen yang dikuasai oleh BUMN. Sisanya dikuasai oleh swasta kapitalis. “Ekspansi kapitalisme besar-besaran tidak pernah berhenti. Negara kita sudah kalah. Bukan hanya bicara menguasai, mengelola saja tidak bisa,” ungkapnya.
Sungguh sagat pelik permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Rakyat sudah terlalu menderita dengan sistem yang berlaku di negeri ini. Revrisond menambahkan, Ketika kita berbicara menata ulang Indonesia, tidak ada cara lain yang bisa dijadikan solusi kecuali revolusi sosial. “Kembalikan dahulu kedaulatan di tangan rakyat, hukum yang telah menjadi transaksi diperbaiki sehingga tidak hanya menguntungkan golongan kapitalis saja,” jelasnya.
sumber gambar : Okezone.com
Oleh : Khairul Arifin ( KDI PC IPM Imogiri)